Bimbingan Skripsi Rasa Siraman Rohani
Perjalanan menyelesaikan skripsiku mungkin menjadi perjalanan yang paling panjang jika dibandingkan dengan teman-teman yang seminar proposal bersamaan denganku. Mereka sudah ada yang sidang akhir, bahkan sudah ada yang wisuda. Tetapi, katanya, kita akan lebih bijak ke diri sendiri jika tidak kebiasaan membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Sebab, we have our own line.
Siang tadi, aku bimbingan yang kedua kalinya setelah sempro. Dosen pembimbingku ini kayaknya punya tingkat kesabaran level sufi menghadapi mahasiswa ngaretan sepertiku. Bahkan, perihal waktu bimbingan saja aku dengan dodolnya nawar-nawar. Aku lupa kalau pagi ini aku harus ke RA untuk kegiatan melukis bersama, sementara aku terlanjur mengiyakan untuk bimbingan jam pagi. Alhasil, aku memohon-mohon maaf dan minta jam bimbingan mundur agak siang. Kalau dosen pembimbingku ini bukan beliau, aku yakin aku sudah kena blacklist. Ngapunten sanget, bapak. :''
Aku sudah mengira bahwa bimbingan ini akan menjadi bimbingan yang tak cukup hanya 10-15 menit mengingat dosenku ini sangat senang berdialog, apapun itu. Dan kali ini, obrolan dibuka dengan cerita beliau tentang pekerjaan yang baru saja beliau selesaikan tepat ketika aku mengetuk pintu. Ternyata jadi dosen memang sibuk ya, pikirku. Setelah itu, berkasku mulai dibuka, modul yang selesai aku cetak juga mulai dibaca-baca. Beberapa pertanyaan dilontarkan terkait kenapa desainnya seperti ini, kenapa materinya ini, kenapa dan kenapa, memaksaku untuk berargumentasi, tetapi bukan sekedar argumentasi subjektif melainkan harus merujuk pada kata orang terdahulu yang valid. Hadeh. Aku jawab sepahamku saja.
Obrolan tentang skripsiku sepertinya hanya berlangsung 15 menit saja. Sisanya, obrolan kami malah mengarah pada banyak hal tentang filsafat dan tasawuf yang mengarahkan pada penemuan jati diri. Di tengah dialog, kalimatnya keluar, "nah, kan, jawaban Mba Suci ini memang argumentasi, tetapi argumentasi yang didasari oleh overthinking,". Sepertinya bapak ini paham kalau aku orang yang gampang mumet, segala dipikir, dan nggak yakin dengan diri sendiri.
"Pada prinsipnya, saya sangat berharap njenengan dan semua mahasiswa memiliki argumentasi yang kuat. Argumentasi merupakan di antara pembeda antara manusia dengan yang lain. Malaikat insya Allah tidak memiliki, begitu pula jin, apalagi binatang. Melalui argumentasi, manusia dapat terbang ke semua penjuru semesta, dan kemudian menjadi dirinya sendiri. Nabi Ibrahim "menemukan" Allah melalui argumentasi.
Nabi Adam ketika "terpaksa" makan buah Khuldi, ada argumentasi yang sangat kuat. Nabi Idris dapat "bonus" terbang ke surga karena argumentasi. Insya Allah semua nabi dan rasul menggunakan argumentasi. Apalagi Rasulullah Muhammad," ucap beliau.
"Nggeh bapak, saya baru menyadari kalau argumentasi itulah yg sebenarnya jadi penentu jalan saya akan ke mana dan untuk apa tujuan hidup yg sebenarnya. Sebab jika argumentasi saya masih seperti tisu, tipis, mudah sobek, mudah terbang terbawa angin, saya rasa itu sulit untuk menuju diri saya yang sebenarnya nggeh pak," jawabku dengan kesadaran diri.
Pada intinya, menurutku, obrolan panjang itu salah satunya mengerucut pada tips sidang munaqosyah nanti. Dosen pembimbingku sedang mengajarkan aku untuk siap ketika dibantai, dibabat dengan pertanyaan-pertanyaan sulit, untuk tetap tenang, asalkan sudah punya argumentasi sendiri. Argumentasi valid, yang didasari oleh fakta-fakta. Bukan subjektif belaka.
"Kalau subjektif mah, itu bukan argumentasi, mbak, tapi alasan," tandas beliau.
"Misalnya sampeyan mau nikah sama seseorang karena dia ganteng, soleh, baik, dan royal, itu bukan argumentasi, tapi alasan," tambahnya. Aku hanya terkekeh mendengarnya.
Obrolan itu berakhir dengan diberikannya sebuah buku padaku. Buku berjudul "Seni Merayu Tuhan", karya Habib Ja'far. Tentulah aku kegirangan dan berterima kasih sambil berkaca-kaca (lebay hahah). Terima kasih bapak. Semoga sehat dan bahagia selalu.
30hbc #10
Mantappp
BalasHapus