Kita adalah Apa yang Kita Pikirkan
Salah satu topik dalam sekolah literasi malam ini adalah perihal "kita itu apa yang kita pikirkan". Itulah kesimpulan singkat yang aku ambil. Mengutip Timothy Ronald, Pak Guru mengatakan bahwa kita itu tidak akan menjadi kaya kalau dalam kepala kita tidak ada pikiran tentang kaya itu sendiri. Sama halnya dengan, kita itu tidak akan beriman kalau dalam kepala kita tidak ada pikiran tentang iman. Atau, dalam kasusku saat ini, aku tidak akan bisa menyelesaikan skripsi kalau dalam kepalaku tidak ada pikiran tentang file skripsi. Bakal lupa dan kelewat. Dan itu benar. Hehehe.
Obrolan kali ini lagi-lagi menarikku ke masa lalu. Ya, aku sangat memahami diriku sebagai orang yang reflektf, reflektif terhadap masa lalu. Baik dan buruk. Kelebihannya, daya introspeksiku tinggi, tetapi kelemahannya kalau keblabas jatuhnya jadi terlalu mengkritik dan keras pada diri sendiri. Tetapi tak apa, aku menerimanya sebagai bagian dari diriku. Oke, kembali ke masa lalu. Aku ingat ketika di sekolah menengah atas, aku cukup aktif di organisasi intra sekolah. Aku sangat kagum pada beberapa temanku yang memiliki daya leadership yang tinggi. Saat itu aku berpikir, "kalau aku jadi mereka, kayaknya aku ga sanggup deh, aku terlalu takut untuk show up menjadi koordinator/ pemimpin dari suatu acara, aku lebih nyaman menjadi pekerja di balik layar,". Tapi kayaknya, Tuhan memang selalu mendengar batinku dan seolah menantang rasa takutku. Beberapa hari setelah aku berpikir seperti itu, aku diberi tanggungjawab sama persis dengan yang aku takutkan.
Dengan sangat berat hati (jujur saja), aku melakukannya. Tetapi, karena dalam pikiranku dari awal adalah rasa takut, aku pun menjalaninya dengan ketakutan. Setiap hari aku hampir ingin melarikan diri. Lalu, kalimat itu muncul. "Kita adalah apa yang kita pikirkan," Ucap ketua organisasiku delapan tahun lalu. Kalimat itu cukup membuatku paham betapa pikiran itu memengaruhi diri kita. Sama halnya dengan, aku tidak akan menjadi berani kalau di kepalaku tidak ada konsep tentang berani. At least, aku mampu menyelesaikan tanggungjawab itu dengan baik (setidaknya bagiku sendiri).
Di masa kini, pergolakan pikiran dan perasaan masih terus aku pelajari. Aku menyadari bahwa apa yang kita pikirkan itu pasti, dan selalu, cepat atau lambat, akan menjadi kenyataan. Misalnya, kalau kita sering memikirkan rasa sakit, overjudging ke diri sendiri, atau kejebak dalam pikiran "aku nggak cukup baik." Akhirnya, kita akan terus berada dalam lingkaran itu, stuck.
Dari situlah, ketika aku mulai sadar aku terlalu fokus pada hal-hal yang negatif, aku buru-buru mencari ketenangan, mengingat Tuhan, membaca kitab suci (menurut Dr. Aisyah Dahlan sangat berguna untuk membantu saraf-saraf kita yang terputus agar tersambung lagi, dan aku percaya itu), dan pelan-pelan mengarahkan pikiranku agar mulai fokus untuk mencari apa yang bisa dipelajari dari ini semua. Asli. Ini formula yang bener-bener bikin aku lebih tenang.
Pak Guru, dalam sekolah literasi kemarin, juga menyampaikan, bahwa kita tidak akan bisa mencegah pikiran-pikiran negatif untuk datang (dalam konteks saat itu adalah membahas tentang suudzon). Kita tidak bisa mencegah untuk tidak suudzon ke orang yang sudah kita kenal luar-dalam. Sebab memang diri kita itu terdiri dari baik dan buruk. Nah, oleh sebab itu, kita harus sadar kapan suudzon itu muncul. Setelah itu ingatlah Allah. Sudah. Hanya itu rumusnya. Pikiran kita akan kembali rasional dan bisa diarahkan pada khusnudzon. Tentunya, kita tidak akan bisa khusnudzon kalau dalam pikiran kita tidak ada konsep khusnudzon. Lagi-lagi, ini kembali ke pengetahuan dan pemahaman. Dan keduanya, tidak akan kita dapat kalau kita tidak belajar. Jadi, mari belajar, lagi dan lagi.
Terima kasih sudah membaca.
Semoga kita bisa sama-sama tumbuh menuju lebih baik.
30hbc #07
*btw sorry yg keenam alpha :')
🤗
BalasHapus