Mengunjungi Makam dan Masa Depan

Hari ini, tepat di awal 2025, aku mengunjungi ibuku. Satu hal yang baru aku sadari, ternyata kondisi makam selain di bulan Ramadhan dan Syawal terlihat sangat rimbun. Maksudku, tidak serapi ketika di dua bulan itu. Apakah memang budaya bersih makam dan ziarah di desaku seringnya dilakukan setahun dua kali saja ya? Atau, aku saja yang begitu? Hiks. Mulai sekarang, aku harus mengunjunginya minimal sebulan sekali. Sebab, wisata masa depan ini nyatanya sedikit-banyak mengingatkan aku akan kematian yang sesungguhnya. Siap tidak siap, aku bakal berada di sana juga. Mungkin, bagiku pribadi, perasaan lelah karena mengejar entah apa atau istilah lokalnya ndunya tok ini, salah satunya karna jarang ziarah. Perasaan putus asa dan ingin mati, juga mungkin karena aku tidak paham mengenai life after die. Lupa, bahwa sekeras apapun kita mengejar sesuatu, kita akan berakhir di tanah juga. 

Aku membuka beberapa arsip tulisan, postingan, dan coretan lama di jurnal. Resolusiku setiap tahun (sejak 2021) ternyata menjadi bahagia. Sedetik kemudian, aku merasa gagal. Gagal segagal-gagalnya. Sebab aku tidak pernah benar-benar bahagia. Seperti yang diharapkan oleh diriku di masa lalu. Maaf ya, diriku. 

Tetapi, aku ingat ucapan dr. Aisyah Dahlan di salah satu podcastnya. Intinya adalah, dalam hidup, kita memang tidak akan pernah selalu bahagia, dan tidak pula selalu sedih. Kalimat itu sedikit menghibur diriku di masa kini. Ternyata, bukan aku yang gagal. Tetapi harapan aku, resolusiku, yang mungkin kurang realistis. Benar kan? Hidup ini dinamis. Naik turun. Kita nggak mungkin selalu bahagia, dan selalu sedih. Ada kalanya kita bahagia saat bisa membeli bunga untuk diri sendiri. Ada kalanya kita bahagia saat bisa membantu orang lain dalam kesulitannya. Ada kalanya kita bahagia saat berkumpul dengan keluarga di hari raya. Tetapi pasti ada juga saat-saat kita bersedih, putus asa, merasa tak berdaya, kehilangan, dan berduka. Ada saat-saat kita memang harus merasakan sakit, kemudian menangis tersedu-sedu. Ada saat-saat kita marah akan ketidakadilan yang menimpa. Dan itu sangat wajar, normal, sangat manusia. Wah, menulis ini, rasanya diriku sedang menghibur diri sendiri. 

Benar. Aku tidak gagal. Aku hanya diberi kesempatan untuk belajar lagi. Mempelajari pola yang berulang, untuk tidak diulangi lagi di kemudian hari. Aku menikmati masa kini, kembali melukis, membaca, menulis, dan mengingat masa lalu sebagai bagian dari introspeksi diri (dan berusaha untuk meminimalkan perasaan bersalah dan mengutuk diri sendiri akan kesalahan di masa lalu). Aku, tidak bisa mengendalikan masa lalu. Tapi aku, bisa mengendalikan diriku di masa kini. Saat ini, tidak ada hal yang lebih membahagiakan daripada kesadaran bahwa diri ini masih diberi kesempatan untuk bersujud, masih diberi waktu untuk belajar, masih diberi ruang untuk memahami diri sendiri. 

Jadi, resolusi tahun ini, adalah, menjadi sadar akan diri sendiri, memahami diri sendiri, dan mencintai diri sendiri. Realistis bukan? Sebab aku yakin, kunci dari hidup tenang adalah keberhasilan mencintai diri sendiri. 

Bismillaah..  Tak apa, kita mulai lagi.


#30HBC 

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer