Refleksi Juri
Salah satu yang patut aku syukuri setelah menjadi bagian dari Rumah Kreatif Wadas Kelir adalah kami selalu diberi kepercayaan atas sesuatu walau kami belum memiliki pengalaman apapun. Kami diizinkan untuk belajar, learning by doing, dengan sedikit paksaan tentunya. Tapi bukan paksaan yang menyakitkan kok, hehe. Sebab konsep relawan ini terkadang memang harus dipaksa untuk melakukan sesuatu, kadangkala rela, kadang juga melawan, tapi kalau nggak dipaksa, melawannya jadi kelewatan.
Nah, pagi tadi, aku mendapat kesempatan dan kepercayaan untuk menjadi juri lomba menulis biografi ulama. Menarik sekali. Awalnya aku ragu untuk menerima tawaran itu. Tetapi kupikir apa salahnya mencoba. Sedikit banyak, kami sudah beberapa kali mendapat bekal tips menjadi juri dari Pak Guru Heru. Tentang kepenulisan, kami juga sudah cukup sering berlatih menulis (walau sering juga mbolosnya). Akhirnya, aku terima tawaran itu, berdua dengan rekan relawan yang lain yang lebih senior.
Dan tahukah? Sampai di tempat, aku menciut. Di transit juri, aku merasa paling muda sekaligus paling tidak tahu apa-apa. Semua orang yang menjadi juri cabang lomba lain adalah guru, pegawai LPNU, atau pelatih berpengalaman. Sementara aku hanya mahasiswa ingusan yang masih merangkak untuk bisa lulus, huhu. Hampir minta pulang, akutuh. Tapi yakali. Karena sudah terlanjur mencebur, sekalian saja berenang. Aku pikir, mereka juga tak ada yang menanyakan gelar/ jabatan. Terlebih, aku tahu betul bahwa Rumah Kreatif Wadas Kelir sudah cukup mendapat kepercayaan dari banyak orang. Jadi, aku juga harus percaya diri.
Lomba itu diikuti oleh 15 orang peserta. Dari masing-masing peserta, aku cukup dibuat takjub dengan hasil tulisan mereka. Tulisannya cukup bagus untuk ukuran usia mereka saat ini. Selain itu, cara mereka mempresentasikan hasil tulisan juga melampaui ekspektasiku. Mereka mampu melakukan improvisasi, tidak sekedar menghafal, tidak sekedar membaca, tetapi benar-benar mampu menjelaskan poin-poin dengan jelas dan mudah dipahami. Aku langsung insecure mengingat aku pribadi kalau presentasi di kelas seringkali masih terbata-bata dan sering lupa. Ah, benar juga, di usia yang semakin tua ini, rasanya belajar jadi terasa lebih berat dan harus lebih ekstra dibanding saat usia anak-anak dulu yang segala materi masih dengan mudah diterima oleh otak.
Dari kegiatan menjadi juri tadi, aku memahami bahwa jadi juri juga tidak berarti kita lebih baik dari para peserta. Bahkan, kita juga bisa belajar dari mereka. Ini jadi pengingatku ketika sedikit-sedikit masih menilai orang lain dengan seenaknya, sementara diriku sendiri saja masih jauh dari sempurna (dan tidak akan sempurna).
Terima kasih sudah membaca.
30hbc #11
🤗
BalasHapus