Bapak

Tigapuluh menit menjelang 10 Januari. Bapakku ulang tahun. Aku pikir selama ini, bapakku lahir di tahun 1976, ternyata 1975. "Itu cuma di KTP, yang betul 1975," kata bapak. Wah, genap sudah usianya yang ke 50, tahun ini. Pak, sedikit cerita tentangmu, dan perjalanan menyenangkan yang 'diwarisi' olehmu.

Selamat ulang tahun. Serta mulia, dan sehat selalu. Bapakku itu, kalau setiap chat, selalu diawali dan diakhiri dengan salam. Kadang, kalau urusan yang sedikit serius, bapak pakai pendahuluan, isi, dan penutup. Bapakku itu, mewariskan kecintaanku pada seni coret mencoret. Kalau dibilang pelukis, bukan, aku hanya penikmat seni yang kebetulan berupaya menghidupkan hobi dalam rangka membahagiakan diri sendiri. Tetapi bapak, aku yakin, dia sejatinya adalah pelukis, hanya saja tak terfasilitasi oleh dukungan moril dan materiil, kala itu. Tetapi bapak sangat memfasilitasi aku sejak kecil. Dibelikannya lembar abjad sejak aku bahkan belum menginjak taman kanak-kanak. Aku ingat betul saat aku belajar melafalkan satu per satu huruf di lembar abjad itu, di atas dipan reyot yang hampir lapuk, di bawah atap yang nyaris roboh. Serius. Ini serius. Rumahku zaman dulu, kalau gempa, pasti ada saja yang hampir roboh.
 
Ketika beranjak ke sekolah dasar, diajarkannya aku menggambar banyak hal. Tumbuhan, hewan, orang-orang, benda-benda, bahkan pernah aku diajari menggambar dispenser di rumahku. Kala itu, bapak berkolaborasi dengan mamaku. Dan aku kecil, dengan watados, mengaku pada teman-teman bahwa itu adalah gambarku. Halah, tukang klaim, wkwkwk. Tapi akhirnya karna malu, aku pun mengatakan yang sebenarnya itu bukan gambarku, aku hanya membuat bulatan kecil saja. Hehehe. Dan berakhir dengan sorakan kesal teman-teman. Selain itu, bapak juga rutin membelikanku buku-buku bacaan. Aku ingat sekali, aku mulai suka sekali baca buku itu sejak kelas tiga SD. Bapak membelikanku buku Yohanes Surya, tentang sains. Bapak membelikanku setiap edisi/ tema. Mulai dari tata surya, anggota tubuh, tumbuhan, darah, pokoknya segala tentang sains. Entahlah, mungkin dulu bapak pengen anaknya jadi dokter kali yak. Tapi yang jelas, dari situlah aku suka membaca, merambah ke membaca peta dunia, menghafalkan letak masing-masing provinsi di Indonesia, menghafal simbol-simbol peta, menghafal pembagian benua, membaca banyak hal tentang bumi sampai ke bencana alamnya. Makanya, aku sempat bercita-cita jadi pegawai BMKG! (Sok pinter banget yak wkwk. Itu dulu, jaman masih suci, sekarang penuh dosyah. Sudah lupa. wkwk)

Ketika di penghujung sekolah dasar, aku mulai dikenal anak yang hobi gambar. Aku diikutkan beberapa cabang lomba menggambar, kaligrafi, hingga melukis. Aku mulai mengenal kanvas, pilok, dan cat. Asyik sekali, sungguh. Bapak dan mama juga selalu mendukungku untuk rajin latihan. Tetapi mungkin karena nggak dilanjutkan latihan lebih jauh, aku tidak sampai di tahap jadi anak yang kreatif/nyeni banget. Ya, cuma sebatas kebetulan dikasih kesempatan lomba saja. Bahkan, di lomba melukis kala itu, aku benar-benar sangat tidak ahli dalam menggunakan cat air/ semacamnya. Tapi nekat daftar saja. Dan, aku ingat betul, peserta di sebelahku mengatakan pada ibunya (yang saat itu mendampingi). "Bu, lihat deh, jelek banget ngelukisnya, nggak rapi," Wkwkwkwkwk. Setelah mendengar itu, mentalku langsung menciut. Aku bergegas menyelesaikannya tanpa memberitahu guruku. Dan yasudah, kami pulang dengan biasa-biasa saja.

Ketika sekolah menengah pertama, aku sama sekali tidak pernah menggambar lagi, kecuali mendapat tugas. Begitu pula sekolah menengah atas. Aku mulai merasa bahwa menggambar/ melukis bukan bakatku. Aku mulai meninggalkannya. Entah berapa kali motivasi-motivasi bapak dan mama untuk aku menggambar lagi, walau kadang disusul dengan kalimat, "nggambar yang kiranya bisa menghasilkan duit nantinya,". Tetap saja, aku tidak minat lagi.

Tetapi di penghujung 2017, bapak membelikanku buku sketsa dan cat air pertamaku beserta kuasnya. Aku senang, tetapi juga agak bingung ya, mau digimanain? Aku sudah lama tak memegang kuas/ semacamnya. Dari situlah, aku mulai mendekati dunia itu lagi. Gara-gara bapak membelikan cat air. Matur sembah nuwun, bapake. :)

Sebenarnya, tak hanya itu yang diwariskan bapak. Banyak hal yang baru aku sadari ketika aku mulai tua, aku menyadari bapak adalah orang yang selalu berusaha bertanggung jawab atas apapun itu. Kalaupun ada hal-hal yang sempat membuat kami jauh, itu (pada akhirnya) aku akui murni karena kemarahanku, egoku, dan ketidakdewasaanku dalam menyikapi masalah dalam hidup kami. Bapak, dalam sepinya, selalu melantunkan doa-doa, yang membawaku hingga detik ini. Bertahannya kami, tentu tidak lepas dari Fatihah beliau yang tak pernah putus, walau dalam keputusasaan. Kembalinya 'kami' dalam percakapan yang 'receh', itu tak lepas dari permohonan bapak pada Tuhan agar kami anak-anaknya mau kembali ke masa kini, tak terkungkung dengan masa lalu. 

Pada akhirnya, aku tak mampu memberikan apapun, bahkan cerita ini tak cukup untuk menebus segala kesakitan, kesepian, dan kehampaan yang bapak rasakan selama ini.

Serta mulia, pak. 
Segala doa yang baik adanya, untukmu dan mimpimu yang mulia.

Sekian. 

30hbc #09

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer