Surat Terbuka untuk Diriku
Kepada yang tercinta, Suci Wulandari.
Pertama dan paling utama, aku meminta maaf padamu harus merasakan perasaan ini lagi. Aku tahu, berat untuk menerima, rasanya seperti berputar, berulang, dan selalu berhenti di titik yang sama. Maka, aku tidak akan memintamu untuk cepat-cepat beranjak dari perasaan ini.
Kedua, aku meminta maaf atas kelalaian diriku untuk menjagamu. Menjagamu dari hal-hal yang tak pasti, menjagamu dari hal-hal yang mengorbankan diri sendiri, menjagamu dari segala yang tak menghargai, menjagamu dari rasa sakit akibat harapan dan ekspektasi. Aku meminta maaf dengan setulus-tulusnya.
Ketiga, aku meminta maaf atas kedunguanku terhadap harga diri, sehingga kamu harus selalu berada pada posisi bertahan, mempertahankan, dan menerima keputusan. Aku minta maaf karena tidak mampu membawamu pada sikap yang paham akan batasan, paham akan nilai diri, sehingga terhindar dari kekecewaan.
Keempat, aku meminta maaf karena aku seringkali tidak hadir di sisimu, tidak menyediakan diri untukmu, tetapi malah selalu menyediakan diri untuk orang lain, selalu mengutamakan orang lain, selalu memberi waktu untuk orang lain, dan aku melupakan bahwa kamu adalah satu-satunya yang harus dijadikan prioritas utama di hidup ini lebih dari siapa pun.
Kelima, aku meminta maaf, telah bersikap terlalu keras padamu. Seringkali perasaan-perasaan yang kamu ceritakan padaku, selalu aku tepis, selalu aku hempas dengan berbagai kalimat-kalimat penguat. Seolah kamu tidak boleh menjadi lemah, rentan, dan sakit. Betapa kurangnya aku dalam mengerti dan memahami perasaanmu.
Kepada yang tercinta, Suci Wulandari.
Aku mau mengatakan beberapa hal. Aku harap, ini bisa membantumu untuk lebih mencintai dan menghargai dirimu sendiri.
Suci, segala hal yang dalam pandanganmu adalah hal buruk dan seringkali kamu berpikir bahwa itu adalah hukuman bagimu atas dosa-dosamu, itu adalah salah. Setiap makhluk pernah berbuat dosa dan Tuhan ada untuk memberimu ampunan. Di kemudian hari, kamu sadar bahwa hal-hal yang menimpamu bukanlah hal yang buruk, melainkan bentuk kasih sayang Tuhan.
Suci, aku mengerti betapa frustrasinya kamu karena telah menghadapi pola-pola yang berulang. Kamu lalu menyalahkan diri sendiri atas itu. Seolah kamu adalah orang yang tidak pernah bisa belajar dari masa lalu. Kamu lalu membodoh-bodohkan diri sendiri atas rasa frustasi itu. Tetapi, pahamilah. Kamu ingat perihal kultum? Kamu bahkan bisa belajar lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya setelah melalui tiga kali Ramadhan. Dan, itu tidak masalah bukan? Pola yang sama dan berulang yang membuatmu frustrasi itu, bukan tanda bahwa kamu adalah seseorang yang bodoh dan dungu. Sebab hal-hal yang terjadi seringkali bukan kendalimu dan kamu tidak salah atas itu.
Suci, aku tau, kamu memandang suatu pembatasan, penolakan, dan kepergian adalah suatu hal yang amat menyakitkan dan itu wajar. Tetapi, aku harus memberi tahukan ini: setiap orang berhak mengutamakan diri mereka sendiri, setiap orang berhak membuat batasan, setiap orang berhak berkata tidak untuk hal-hal yang tidak sesuai lagi dengan nilai yang mereka pegang, setiap orang berhak untuk beranjak ke tempat lain yang lebih baik sesuai dengan proses yang mereka lalui. Dan kamu, juga berhak atas hal-hal tadi. Maka, mari lihat sudut pandang lain yang jauh lebih bijak dalam menghadapi pembatasan, penolakan, dan kepergian.
Suci, aku mengerti betapa tulus perasaan yang telah kamu berikan pada orang lain. Kamu selalu mengutamakan perasaan orang yang kamu sayang walau mereka mungkin tidak menyadari telah menyakitimu bertubi-tubi. Kamu selalu memaafkan orang yang kamu sayang dan mengesampingkan hal-hal yang membuatmu tidak nyaman agar kamu lebih mengerti mereka. Kamu selalu memberikan waktu dan upaya terbaikmu untuk selalu ada bagi orang yang kamu sayang meskipun ketika kamu butuhkan mereka, mereka tak selalu ada. Tapi, Suci, kamu punya harga diri yang jauh lebih penting ketimbang kamu selalu berusaha menjadi pahlawan bagi orang lain. Kamu punya tanggungjawab atas dirimu sendiri. Kamu adalah teman terdekat untuk dirimu sendiri. Jadi orang baik boleh, tapi jadi orang bodoh yang tak tahu batasan, jangan.
Suci, aku tau kamu takut menjadi seseorang yang terlihat lemah, cengeng, dan tak berdaya. Aku tau kamu sudah terbiasa sendiri. Aku tau kamu tak pernah mendengarkan perasaanmu sendiri. Padahal, Suci, kamu itu boleh untuk sedih, marah, kecewa, cengeng, lemah, rentan, takut, dan tak berdaya. Itu semua emosi manusia. Itu semua wajar. Lalu kenapa setiap kamu merasakan emosi-emosi itu justru kamu menjudge dirimu sendiri sebagai orang yang "sakit"? Kalaupun sakit, memangnya kenapa? Bukankah dirimu yang lemah dan sakit itu juga bagian dari dirimu yang harus kamu terima? Nanti, kita obati sama-sama ya, sayang.
Suci, aku adalah dirimu, dan kamu adalah aku. Aku harap, apapun yang menimpamu, kamu selalu menyayangi dirimu sendiri dan tidak menyalahkan diri terus menerus. Aku menyayangimu, lebih dari apapun. Kamu berhak bahagia. Terima kasih, telah menjadi teman terbaikku selama 25 tahun ini. Walau terkadang kita tidak saling mendengar satu sama lain, aku harap menjelang angka 25 ini, kita semakin dekat, dan saling mencintai.
Siapa lagi yang akan baik ke diri sendiri kalau bukan kita sendiri?
Komentar
Posting Komentar