Menelusuri Jejak Tabi
Malam itu, tepat setelah temanku memutuskan untuk tidur dan meninggalkan kamarku, aku membuka galeri di ponsel. Jariku menggulir layar hingga muncul foto-foto di time line tahun lalu. Salah satu foto cukup mengusik perhatian mataku. Foto itu adalah foto salah satu buku yang aku dapat cuma-cuma ketika mengikuti seminarnya di salah satu Mall di kotaku. Di halaman pertama yang aku abadikan itu, terpampang kalimat "katanya manusia jatuh cinta tiga kali sepanjang hidupnya". Aku menatapnya lama, lama sekali. Aku teringat rekomendasi temanku tadi.
"Coba deh, mba baca buku Tabi, mungkin akan ada banyak kesamaan kayak yang mba alami sekarang,"
Mataku terseret pada rak buku dan ternyata ada buku itu di sana. Aku langsung meraihnya dan mulai membacanya. Ternyata, tak butuh waktu lama, hanya dua malam aku menyelesaikan buku itu. Dan, ya. Perjalanan Tabi dalam mencari diri sendiri, mencari pasangan, mencari ketenangan, dan mencari jawaban, mirip denganku. Tabi harus melalui tiga kali pertemuan dengan laki-laki (dan belum ada yang berhasil) hingga dia akhirnya tahu jawabannya bahwa perjalanan ini bukan tentang ketiga laki-laki itu, tapi tentang dia versi dewasa dan dia versi anak kecil yang masih menyimpan banyak luka.
Dulu, ketika pertemuanku dengan orang pertama gagal, aku mengisi hari-hari setelahnya dengan menyalahkan diri sendiri, mengubah identitas diriku sendiri, dan upaya-upaya tidak masuk akal untuk membuktikan bahwa aku tidak seburuk itu, hingga bertahun-tahun, sejak bangku SMP hingga aku berusia 20 tahun. Sangat tidak realistis memang. Aku kehilangan diri sendiri sebegitu besarnya. Hidupku dipenuhi rasa bersalah dan suara-suara dalam diri yang mengatakan bahwa aku pantas mengalami ini semua akibat kesalahanku padanya. Aku melakukan banyak hal untuk pengakuan, pengakuan, dan pengakuan yang entah sampai kapan akan membuatku berhenti. Ketika berhasil berhenti, ternyata aku masih salah. Aku masih menjadi pihak yang dipertanyakan pilihannya. Keputusasaan dan kemarahan yang bertumpuk akhirnya membludak saat itu. Aku pikir, ini akan selesai tepat saat aku dan dia sepakat untuk menyelesaikan. Ternyata aku salah lagi. Dampak dari pertemuan pertama ini, terbawa hingga pertemuanku dengan orang kedua.
Pertemuanku dengan orang kedua berlangsung cukup lama sekitar 3,5 tahun. Saat itu, aku mengidealisasikan dia sebagai pasangan yang aku butuhkan. Memang benar, hadirnya kurang lebih satu tahun setelah selesai dengan orang pertama, saat aku lagi jatuh-jatuhnya, dan hancur-hancurnya. Mungkin karena itulah aku benar-benar merasa bahwa dia adalah orang yang tepat. Hingga di akhir tahun ke 3, hubungan kami mulai retak akibat beberapa hal fatal yang menurutku sangat memengaruhi kami. Saat itu, aku menjadi manusia yang manipulatif, pemarah, dan selalu menjadi pihak yang menyalahkan. Beberapa hal memang aku terluka, tetapi respon atas luka itu seringkali tidak bisa aku kontrol dan tidak aku sadari. Seiring berjalannya waktu, aku sadar dan mengakui kalau masalah-masalah itu, ya, timbul karena diriku. Karena idealisasiku yang tidak realistis, kemelekatanku pada laki-laki yang melebihi kemelekatan dengan diriku sendiri, serta kurang aware-nya diriku terhadap kondisi emosionalku. Lagi-lagi, aku menyalahkan diri sendiri lebih dari apapun.
6 bulan setelah aku bergelut dengan pola tarik-ulur, maaf-marah, dan hubungan yang masih menggantung, akhirnya aku memutuskan untuk berhenti. Tepat ketika aku memutuskan berhenti dengan kondisi mental yang sangat berantakan dan hampir setiap hari aku berpikir ingin mengakhiri hidup, seseorang kembali hadir dalam hidupku. Seseorang yang tidak pernah aku sangka kehadirannya. Aku, seperti sumur kering kerontang tak terurus, dan dia, seperti hujan di musim kemarau yang kedatangannya tiba-tiba, mengisi ruang kosong itu. Sumur itu perlahan terisi nyaris penuh, bahkan membludak. Kita, saling mengisi. Sebab banyak sekali kesamaan yang ada pada kami. Lagi-lagi, dengan mudahnya aku membuka hati ketika aku sendiri belum paham betul dengan siapa diriku, apa mauku, seperti apa rencana-rencanaku. Aku pikir, luka-lukaku hanya perihal hubunganku dengan orang pertama dan orang kedua, yang aku yakini sudah aku terima dengan lapang dada. Ternyata, aku salah.
Memasuki bulan keempat dan kelima, hubungan ketigaku renggang lagi. Bertemu dengan seseorang yang belum selesai dengan masa lalu dan diri sendiri, ternyata begini ya, rasanya. Setidaknya mungkin itulah yang dirasakan oleh orang kedua ketika bersamaku dulu. Pun juga saat ini, aku dan orang ketiga ini, sama-sama merasakannya. Kami, dua orang yang sama-sama belum selesai dengan diri sendiri, dipertemukan oleh Yang Kuasa.
Pelik.
"Umi, kenapa ya, rasanya aku dungu sekali perihal harga diri. Kenapa aku merasa berbeda dari perempuan-perempuan lain di luar sana yang bisa "jual mahal". Kenapa aku merasa begitu melekat dan butuh kehadiran seseorang untuk mengisiku? Padahal sebenarnya aku pasti bisa sendiri. Tapi, rasanya begitu sulit. Kenapa aku sangat mudah merasa dicintai dan juga mencintai?" gumamku pada temanku.
"Mba, sama halnya kayak aku saat ini yang terbentuk dari latar belakang masa kecilku, mungkin mba juga sama, punya luka masa kecil yang belum sempat dirawat dan disembuhkan, dan kebawa sampai sekarang, yang akhirnya memengaruhi cara mba dalam berelasi dengan lawan jenis," jawab temanku.
Aku merenung sangat lama. Aku kembali teringat pada buku Tabi, yang di bagian akhir juga mencari luka-luka masa kecilnya. Dibantu oleh psikolognya, Tabi menemukan luka-luka itu. Luka-luka yang tidak pernah sekalipun Tabi tengok dan ceritakan pada orang lain. Tabi menelannya sendiri.
Aku rasa, beberapa lukaku mirip seperti Tabi. Luka-luka masa kecil seperti perasaan takut ditinggalkan orang-orang terdekat, takut dibully karena waktu kecil (bahkan hingga sekarang) aku punya big insecurity terhadap fisikku dan sewaktu kecil aku juga sering diejek sampai aku punya julukan tersendiri karna kondisi fisikku itu. Aku juga pernah menyukai seorang teman di bangku SD (cinta pertamaku). Tetapi sayangnya, dia lebih memilih temanku yang jauh lebih cantik. Aku saat itu menerima saja, karna ya memang aku tidak secantik itu, terlebih dengan keadaan diriku yang memang berbeda dari teman-teman lain. Aku juga pernah lalai dalam menjaga adikku karna aku terlalu fokus membaca buku, sehingga tanpa sadar adiku jatuh dari tempat tidur dan berakhir aku kena gampar di pipi kananku lalu diasingkan oleh ibuku. Untuk menguncir rambut saja, aku dibantu tetanggaku, bahkan ketika makan, aku juga diberi oleh tetanggaku. Tetapi akhirnya, aku selalu menerima perlakuan orang lain padaku karna ya aku pikir, wajar saja, aku pantas mendapatkannya karna aku memang salah dan tidak layak.
Lukaku yang lain adalah, sejak kecil, aku selalu dititipkan pada orang lain. Saat itu, ibuku bekerja di luar, sementara aku tinggal dengan bapak dan kakek-nenekku. Setiap malam, aku selalu dititipkan pada tetanggaku dan diam-diam bapakku pergi entah ke mana. Aku saat itu tidak mengerti, yang aku tahu, ketika aku menyadari bapakku tidak ada, aku menangis dan ketakutan. Itu terjadi berkali-kali sampai aku benar-benar tidak mau ditinggalkan lagi oleh kedua orang tuaku dengan alasan apapun (ketika beranjak remaja aku tidak mengizinkan mereka bekerja di luar kota lagi). Kalau di masa kini aku sering melihat anak usia dini yang ditunggui orang tuanya ketika sekolah dan menangis ketika ditinggalkan, nah, itu aku di zaman dulu. Aku selalu takut kalau ditinggal di sekolah sendirian (sebelum aku merasa aman dan nyaman di dalam kelas).
Dari situlah lahir perasaan-perasaan takut terasingkan, takut ditinggalkan, dan pada akhirnya aku berpikir bahwa aku harus bisa diterima dengan cara apapun, tidak boleh mengecewakan siapapun, salah satunya (saat itu) aku harus selalu menjadi juara kelas. Dan benar memang, aku selalu juara kelas sejak SD hingga SMA kelas X. Dari situlah aku tidak pernah ditinggalkan teman-temanku juga keluargaku. Aku tumbuh menjadi anak yang harus selalu berhasil dan membanggakan. Aku gila belajar sejak kecil dan harus mendapat nilai sempurna di setiap mata pelajaran. Ketakutanku pada nilai yang jelek sudah tumbuh sejak masuk SD.
Namun, ketika aku gagal, aku seolah tidak berhak mendapatkan apresiasi apapun. Terbukti ketika SMA, aku mulai tidak peduli dengan sekolah. Aku hanya menyibukkan diri di organisasi baik intra maupun ekstra. Aku selalu pulang hingga malam hari. Entah apa yang ada di kepalaku hingga aku butuh banyak kegiatan untuk mendistraksinya. Nilai raportku stabil, tetapi ranking-ku turun drastis yang semula 1 menjadi 21. Mulailah, kekecewaan orangtuaku datang padaku. Bahkan ketika aku masih berhasil diterima di universitas tanpa test, aku dibilang hanya beruntung saja.
Sejak itulah, ketakutanku terhadap kegagalan dan ditinggalkan, semakin besar. Aku semakin haus untuk mencari apresiasi dari mana pun, dan tumbuh semakin keras pada diri sendiri.
Aku juga punya luka lain yang... mungkin aku tidak bisa ceritakan di sini dan berdampak hingga aku dewasa seperti sekarang ini. Ditambah lagi, di usia yang beranjak dewasa, hubunganku dengan orang tua dan keluarga semakin jauh sepeninggal ibuku. Aku rasa, duka yang belum sempat tersalurkan itulah, yang menjadi salah satu penyebab lain kemelekatanku terhadap lawan jenis yang menurutku kurang wajar. Sebab kebiasaan-kebiasaan orang tuaku yang selalu mengisi ruang kosongku, tiba-tiba hilang.
Ibuku yang dulu tersedia 24/7 untukku, menentukan apapun dalam hidupku dari ujung kepala hingga ujung kaki, bahkan ketika LDR (karna kuliah di luar kota) aku selalu berkabar dengan ibu setiap hari tanpa absen sekalipun, ibu menemaniku via telepon ketika aku dalam perjalanan pulang ke kos larut malam, lalu bapakku yang sangat word of affirmation dan act of service sekaligus giving gift (aku baru menyadarinya sekarang-sekarang) walau kadang terlihat tak peduli, serta adik-adikku yang menjadi sumber tertawaku kalau di rumah, semua itu hilang tak tersisa. Kini semua terpisah-pisah sepeninggal ibu. Aku hilang arah. Dan aku justru semakin mencari arah itu dari orang lain, dari laki-laki yang aku rasa mereka bisa menyayangiku. Aku jadi mudah merasa dicintai, sekaligus mudah juga untuk mencintai.
Iya, mungkin semua itu adalah cerminan dari luka-luka yang ada di Suci kecil. Sekarang, aku akan menerimanya dengan lapang dada. Harus aku terima.
Seperti Tabi yang pada akhirnya berdamai dan memilih menghabiskan waktu lebih banyak dengan diri sendiri, aku pun memilih demikian. Aku ingin menjalani hidup dengan sederhana, tidak ingin berlomba-lomba mencari validasi, tidak untuk dikejar-kejar ekspektasi, aku ingin menjalani dengan sederhana.
Rasanya, tidak ada yang lebih berharga melebihi diri sendiri yang telah Tuhan ciptakan dengan penuh kasih sayang.
Aku bersyukur, sekarang, aku bisa melihat sesuatu dengan lebih lebar. Tidak hanya fokus pada rasa sakit, tetapi juga hikmah yang ada di baliknya. Orang pertama, kedua, dan ketiga, semuanya hadir bukan tanpa alasan. Mereka juga mungkin memiliki luka-luka masa lalu yang mirip denganku dan mereka tengah berjuang juga untuk berdamai. Kadang, dua orang akan merasa cocok ketika menyadari mereka memiliki luka yang sama. Kadang ada yang bisa saling menyembuhkan, ada juga yang justru semakin menoreh rasa sakit. Dan, itu tidak apa-apa.
Kesalahan-kesalahanku di masa lalu, juga akan aku maafkan dengan sepenuh hati. Aku bersyukur, aku mulai bisa memilih keputusan untuk diriku sendiri dan berkomitmen atas itu. Aku percaya setiap luka ada obatnya. Seperti naiknya asam klorida yang mereda oleh antasida.
Sekarang, istirahat dulu ya, Suci. Istirahat dari mengejar cinta dan kasih sayang dari orang lain. Istirahat dari kemelekatan pada orang lain. Istirahat dari hal-hal yang melelahkan.
Besok, kita belajar lagi dan kita susun rencana-rencana hebat yang bermanfaat. In Syaa Allah.
Komentar
Posting Komentar