Dialog 1
Pernahkah kamu merasakan takut, khawatir, dan cemas akan ditinggalkan oleh seseorang? Pernahkah kamu begitu peka dengan perubahan sikap orang-orang terdekatmu? Pernahkah kamu frustrasi dengan kepekaan itu? Dengan kecemasan-kecemasan yang ada di kepalamu? Pernahkah perasaan takut ditinggalkan itu begitu nyata seolah-olah benar akan terjadi di kehidupan nyata hingga pada akhirnya justru mendorongmu untuk menarik diri?
Ya. Aku. Aku si pemilik semua perasaan itu.
Di hari pertama ramadhan, aku kembali disadarkan bahwa manusia begitu dinamis, bisa berubah sewaktu-waktu, bergantung pada pola pikir, pengalaman, dan refleksi diri yang dilaluinya. Dan seringkali, hal ini menjadi fakta yang sangat sulit aku terima. Padahal, diriku juga termasuk dalam kedinamisan itu. Perubahan-perubahan ini aku respon dengan pikiran-pikiran negatif. Aku sendiri tidak mengerti kenapa setiap perubahan aku maknai sebagai "warning" untuk berakhirnya sebuah hubungan. Aku mencari-cari apa yang salah dariku. Apa yang aku perbuat. Apa yang aku lewatkan, sehingga perubahan ini terjadi. Pada akhirnya, aku tidak pernah menemukan jawabannya, sebab perubahan ini terjadi bukan karena diriku, melainkan karena sifat dasar manusia itu sendiri.
Aku kembali membuka catatan-catatan, mengingat kembali memori-memori kecil yang masih bersarang dalam pikiranku. Aku mencari penyebab rasa kekhawatiran ini. Mencari sisi lain diriku yang belum pernah aku temui dengan baik-baik. Mencari sudut kecil diriku yang masih belum aku terima. Kepalaku begitu berat kalau berurusan dengan kegiatan menyelam ke dalam diri. Tapi aku harus lakukan itu. Aku tidak mau terus menerus denial terhadap ini semua.
Setelah berbuka puasa, jariku tergerak untuk mengetikkan sesuatu: attachment style. Aku baca banyak jurnal, aku tonton video YouTube yang membahas perihal macam-macam gaya keterikatan. Lalu, aku menemukan satu hal, anxious attachment. Dadaku seperti ditekan ketika membaca dan menyadari bahwa anxious attachment sangat relate dengan apa yang aku rasakan selama ini.
Kalau biasanya aku menolak dan merasa bahwa ini akan segera berlalu, kali ini aku coba untuk menerima. Menerima kalau memang aku adalah individu yang demikian. Menerima kalau aku takut ditinggalkan. Aku takut sendirian. Aku takut salah dan kesalahanku menjadi alasan orang lain untuk meninggalkanku. Aku takut aku tak semembahagiakan itu bagi orang di dekatku. Aku takut. Khawatir. Cemas. Iya, aku adalah pribadi yang seperti itu.
Rasanya, menyadari hal-hal seperti ini tidak pernah lepas dari memori masa kecil. Aku ingat detail-detailnya. Aku ingat rasa takutnya. Aku ingat rasa cemasnya. Dan, mungkin, memang harus diakui bahwa itulah akar penyebab aku merasakan kemelekatan yang penuh dengan kekhawatiran akan ditinggalkan di masa dewasa ini.
Lalu, bagaimana?
Apa?
Kalau kamu mengira setelah ini aku akan menulis solusi yang tepat untuk mengatasinya, salah.
Kali ini, aku mau mengakui, menerima, dan menikmati segala bentuk perasaan anxious attachment yang aku miliki. Aku tidak akan buru-buru mencari obatnya. Biarlah. Biarlah aku nyaman dahulu dengan keadaan diriku yang seperti ini. Biarlah aku menerima bahwa ini adalah bagian dari prosesku. Biarlah aku mengakui, seada-adanya, sejujur-jujurnya.
Aku.
Takut.
Komentar
Posting Komentar