#Ulasan03 Menyikapi Kasus Kekerasan Seksual

Menjelang akhir tahun 2021, banyak sekali berita tentang kekerasan seksual, baik di lingkungan keluarga, sekolah, perguruan tinggi, dan lingkungan kerja. Beberapa kasus tersebut antara lain kekerasan seksual yang terjadi di Komisi Penyiaran Indonesia yang hingga tulisan ini dibuat masih dalam proses investigasi. Lalu kasus kekerasan seksual yang terjadi di banyak perguruan tinggi baik negeri maupun swasta di Indonesia, seperti UI, UGM, UNDIP, UNY, UII, UMY, UNRIS, UNRI, dan masih banyak lagi. Ingat pula kasus kekerasan seksual seorang ayah terhadap ketiga anaknya di Luwu Timur, yang sangat menguras energi ketika saya membaca beritanya. Berita tersebut menyebar lewat web Project Multatuli, yang sempat menghilang dengan tiba-tiba. Namun karena kekuatan persebaran berita di media sosial yang sangat cepat, tulisan di web itu telah banyak di-forward melalui berbagai situs berita. Sementara itu di Cilacap, ada seorang guru agama yang melakukan tindak kekerasan seksual kepada 15 murid dengan iming-iming nilai yang tinggi. Bahkan, yang paling menggemparkan adalah kasus kekerasan seksual yang terjadi di salah satu ‘lembaga keagamaan’ di Bandung. Berita terakhir yang saya baca, pelaku dituntut hukuman mati. Tetapi tuntutan tersebut ditolak oleh Komnas HAM dengan alasan melanggar hak asasi manusia.

Kasus yang terjadi di Bandung ini tentu mencoret anggapan bahwa kekerasan seksual tidak akan terjadi di lingkungan keagamaan. Anggapan tersebut tidak benar sama sekali. Terlebih, sebelum adanya kasus kekerasan seksual di Bandung ini, sebenarnya sudah ada kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan masjid. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa kekerasan seksual tidak memandang tempat, tidak pula memandang gender. Kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, dan dapat menimpa siapa saja baik laki-laki maupun perempuan.

Banyak berita berseliweran di media sosial yang mengundang pro-kontra di kalangan masyarakat virtual. Kolom komentar dibanjiri oleh kubu pembela korban dan kubu pembela pelaku. Ada pula kubu tengah-tengah yang menyalahkan keduanya. Perbedaan pendapat yang seolah memiliki jurang pemisah itu membuat saya berpikir bagaimana sebaiknya saya harus bersikap terhadap berita-berita kekerasan seksual ini. Posisi mana yang harus saya pilih sebagai seorang perempuan sekaligus pembaca berita, dan jika ternyata korban kekerasan seksual tersebut adalah orang-orang dekat saya, apa yang harus saya lakukan?

Dikutip dari youkaltim.com, sikap dan prinsip utama yang harus dipegang adalah sikap empati dan memihak pada korban. Sikap tersebut bisa diterapkan baik ketika sekedar membaca berita, atau ketika menjadi pendengar dari orang-orang dekat yang ternyata menjadi korban kekerasan seksual. Maka, yang terpenting adalah mendengar dan memahami kondisi korban. Sebab, jika ada di posisi korban, tentu bukan hal yang mudah untuk bisa menceritakan baik secara langsung maupun di media sosial.

Lalu, bagaimana jika cerita korban belum tentu benar?

Untuk menumbuhkan sikap empati, terlebih dahulu buang jauh-jauh sikap skeptis. Selama ini, banyak sekali korban yang takut untuk menyatakan kebenaran sebab seringkali diserang dengan berbagai tuduhan. Tuduhan-tuduhan tersebut misalnya, “mungkin kamu halusinasi,”; “ah, itumah salah kamu pergi ke tempat gituan”; “kamu pakai baju seksi, ya?”; “ya pantesan, kamu mengundang syahwat soalnya,”

Kalimat-kalimat seperti contoh di atas sama sekali tidak dibenarkan untuk diucapkan terhadap korban kekerasan seksual. Secara tidak langsung, pemikiran seperti itu menunjukkan pembelaan terhadap pelaku kekerasan seksual. Padahal, pelaku kekerasan seksual tidak boleh dibenarkan dengan alasan apapun. Korban pada akhirnya memutuskan bercerita kepada teman terdekat atau di media sosial tentulah dengan maksud untuk mencari bantuan dan dukungan. Tetapi bayangkan jika ternyata yang korban dapatkan justru tuduhan dan judgement yang tidak berdasar. Maka itu menjadi beban mental yang jauh lebih berat lagi.

Kesimpulannya, yang seharusnya dihakimi ialah perbuatan si pelaku dan apa motifnya sehingga melakukan hal tersebut. Bukan malah menghakimi tempat atau bahkan mempertanyakan perihal cara berpakaian si korban. Lagipula, fakta yang terjadi saat ini, kekerasan seksual tidak memandang tempat, tidak bergantung pada pakaian seperti apa yang korban kenakan, atau alasan-alasan lain yang tidak masuk akal. Jadi, tuduhan-tuduhan tersebut di atas jelas tidak relevan.

Selanjutnya, selain sikap empati dan memihak kepada korban, dukungan yang penuh juga sangat dibutuhkan. Jika korban adalah orang-orang dekat, selalu dampingi korban selama proses dirinya memperjuangkan hak-haknya. Seringkali, penyelesaian kasus kekerasan seksual berakhir dengan jalan damai antara korban dengan pelaku. Bahkan pada beberapa kasus pemerkosaan, korban justru dipaksa untuk hidup bersama dengan pelaku dengan jalan pernikahan. Hal tersebut disebabkan karena adanya ketimpangan relasi kuasa antara korban dan pelaku yang mengakibatkan korban seolah tidak memiliki pilihan untuk mendapatkan keadilan. Padahal, penyelesaian yang demikian bukanlah suatu bentuk keadilan bagi korban. Istilah jalan damai mungkin terkesan baik. Tetapi faktanya, tidak ada jaminan dan perlindungan apapun terhadap korban. Korban dipaksa melanjutkan hidup seperti tidak terjadi apa-apa, memendam trauma dan beban mental yang berat, sementara pelaku sama sekali tidak mendapat hukuman apapun untuk memberikan efek jera.

Jika empati dan dukungan terhadap korban sudah dilakukan, sikap selanjutnya yang juga tidak boleh luput ialah mendukung disahkannya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. (RUU TPKS). Dengan disahkannya RUU TPKS ini, maka keberpihakan terhadap korban akan jauh lebih baik. Selain itu, RUU ini juga menjamin adanya perlindungan hukum dan pendampingan psikologis korban. Usulan Rancangan Undang-Undang ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 2016 di meja DPR, namun hingga sekarang belum juga disahkan. Sebagai perempuan, dan sebagai masyarakat pada umumnya, tentu saya sangat mendukung RUU TPKS ini untuk segera disahkan, dengan harapan tidak adalagi korban yang takut untuk bersuara, dan bisa dengan tegas menindak para pelaku. Bukan impian yang sederhana memang, tetapi saya berkeyakinan kekerasan seksual akan hilang dan semua orang bisa hidup dengan tenang, apabila seluruh lapisan masyarakat bahu-membahu memeranginya.

Komentar

Postingan Populer