#Ulasan02 Kajian Hermeneutika Sajak dalam Buku Biyanglala Karya Abdul Wachid B.S.
PENDAHULUAN
Perkembangan karya sastra
sudah merambah diberbagai kalangan sejak awal munculnya tulisan. Pesatnya
perkembangan karya sastra berbanding lurus dengan perkembangan budaya dan pengetahuan
manusia. Semakin berkembang budaya dan pengetahuan manusia, semakin berkembang
pula karya sastra. Jenis karya sastra yang dihasilkan juga memiliki banyak
keragaman. Namun, secara umum, jenis karya sastra yang banyak diminati dan
digeluti adalah prosa, drama, dan puisi. Masing-masing memiliki kekuatan yang
unik. Di antara karya sastra yang hebat ini, ada salah satu yang menarik
perhatian pecintanya, yaitu puisi.
Puisi memiliki kekuatan dan keistimewaan dalam bentuk
pemaknaan yang begitu dalam. Rangkaian kata itu menjelma sebuah bentuk yang di
dalamnya berisi makna, pemikiran, dan pesan penulis untuk pembaca. Penulis
tidak memerlukan rangkaian kata yang panjang, melainkan singkat, padat, dan
bermakna.
Di era masa kini, feminisme
telah menjadi paham yang merambah ke segala bidang kehidupan, termasuk dalam
bidang karya sastra puisi. Kini, masyarakat disuguhkan berbagai macam karya
sastra yang semakin berkembang dan sangat berbeda dengan karya sastra pada
zaman dahulu. Kreativitas dituntut penuh dalam penciptaan karya sastra sehingga
mampu menarik hati pembacanya. Dalam hal ini, pemikiran-pemikiran feminisme
menjadi salah satu paham yang seringkali disisipkan ke dalam karya sastra.
Untuk memahami pendekatan
feminisme dalam kesusastraan, kita juga perlu memahami feminisme sebagai
gerakan. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa feminisme sebagai pendekatan
dalam karya sastra berangkat dari feminisme sebagai suatu gerakan, seperti
dinyatakan dalam kutipan berikut ini: “Pendekatan feminis yang berkembang di
bidang kesusateraan, terutama di Amerika dan Inggris, tidak dapat dilepaskan
dari gerakan perempuan yang berkembang di kedua negara tersebut.”
Adapun dasar pemikiran dalam analisis sastra
pada nilai-nilai feminisme adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran
perempuan. Analisis dalam kajian feminisme berusaha untuk mengungkap
aspek-aspek kesetaraan perempuan di hadapan laki-laki. Stereotype bahwa
perempuan hanyalah pendamping laki-laki akan menjadi tumpuan kajian feminisme.
Dengan adanya perlakuan tersebut, apakah perempuan menerima secara sadar
ataukah justru merasa marah menghadapi ketidakadilan gender.
Dari latar belakang tersebut, penulis memiliki tujuan
yang ingin dicapai, diantaranya adalah untuk menganalisis dan mendeskripsikan
dalam rangka memahami lebih mendalam nilai-nilai feminisme, bagaimana Abdul
Wachid B.S. meletakkan kedudukan perempuan dan menggambarkan kemuliaannya, yang
terdapat dalam tiga puisi karya Abdul Wachid B.S. terkhusus dalam buku kumpulan
puisinya yang berjudul Biyanglala, dan mengetahui makna implisit dari puisi
Abdul Wachid B.S.
Dalam pengkajian puisi ini,
penulis membatasi pengkajian dari segi nilai-nilai feminisme dan kesetaraan
gender yang terkandung dalam puisi yang berkaitan dengan bagaimana Abdul Wachid
B.S. memandang kedudukan perempuan dan memuliakannya melalui karya sastra yang
dihasilkan. Dengan adanya pembatasan masalah tersebut, maka penulis akan lebih
terfokus dalam mengkaji makna dari puisi Abdul Wachid B.S.
Analisis Nilai-Nilai Feminisme dan Kedudukan Perempuan dalam 3 Sajak Abdul Wachid B.S.
Sajak “4.”
cinta bukanlah katakata
bunga bukanlah plastik
rumah bukanlah marah
ramah tidaklah lipstik
perempuan lakilaki bukanlah
sekedar seru!
Yogyakarta, 13 Oktober 2017
Hakikat Perempuan dan Laki-laki pada Puisi “4.”
Sebelum sampai kepada
pembacaan hermeneutik, maka terlebih dahulu penulis melakukan pemvacaan
heuristik, yakni sebagai berikut: Cinta (itu) bukanlah (sekedar) kata-kata,
(sebagaimana) bunga (juga) bukanlah plastik atau palsu.
Rumah bukanlah tempat (untuk)
marah, atau penuh dengan amarah
(dan) ramah bukanlah (sebuah) lipstick
Perempuan laki-laki bukanlah
sekedar (tanda) seru, atau seruan!
Selanjutnya adalah pembacaan
hermeneutik. Sajak “4.” Memiliki menyiratkan makna tentang “asli” dan “palsu
yang terdapat di bait pertama dan kedua. Di bait pertama, kalimat “cinta
bukanlah kata-kata” menjelaskan bahwa cinta itu lebih dari sebuah kata-kata
belaka. Jika cinta hanyalah kata-kata, maka cinta tersebut palsu seperti bunga
plastik. Begitu pula pada bait kedua, pada kalimat “ramah bukanlah lipstick”,
yang mana lipstick seringkali digunakan untuk bersolek para perempuan yang
dapat dimaknai sebuah kepalsuan sebab lipstick dapat mengubah rona wajah.
Kemudian, yang akan penulis
soroti adalah bait ketiga, yang berbunyi “perempuan lakilaki bukanlah sekedar
seru!”. Kalimat ini menciptakan tanda tanya yang besar mengenai hakikat
laki-laki perempuan, dan apa itu yang dimaksud “seru” sehingga bisa dikatakan
“sekedar”. Makna kalimat “bukanlah sekedar seru!” dapat ditafsirkan ke beberapa
hal. Pertama, dalam arti kedudukan di muka bumi, laki-laki dan perempuan
merupakan kodrat sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Kedua, dalam hal kesetaraan,
keduanya adalah makhluk yang memiliki kedudukan yang setara di hadapan Tuhan.
Ketiga, laki-laki perempuan bukanlah sekedar seru atau sekedar sebutan tetapi
lebih jauh dari itu keduanya memiliki peran masing-masing yang diemban selama menjadi
makhluk Tuhan baik di dunia dan akhirat kelak.
Sajak “Puisi Cinta”
…….…..
“aduhai, betapa bahagia
menjelma
menjadi mama oh lala…..
semua dan segala kata manusia
di bawah tahta indah kakinya”
corona, yogyakarta, 21 mei
2020
Kemuliaan Perempuan dalam Sajak “Puisi Cinta”
Pembacaan heuristik penulis atas sajak di atas adalah
sebagai berikut: aduhai, betapa bahagia (apabila) menjadi mama atau seorang
ibu. (Sebab) semua dan segala kata manusia, (berada) di bawah tahta indah
kakinya.
Pembacaan hermeneutik: pada bait terakhir sajak “Puisi Cinta” ini, Abdul Wachid B.S. seolah menyampaikan kebahagiaan yang ‒harusnya‒ dirasakan oleh para perempuan dan para ibu. Hal tersebut dapat dilihat dari pengandaian yang ada pada kalimat “aduhai, betapa indah menjelma menjadi mama”. Menurut penulis, pengandaian dapat muncul sebab dua hal, untuk menunjukkan respon penyesalan, atau perwujudan sebuah keinginan. “betapa indah” menggambarkan sebuah keinginan, dan kekaguman akan sesuatu yang indah, dan mulia., dalam hal ini merujuk kepada kata “mama” yang berarti seorang ibu. Kemudian, pada kalimat “semua dan segala kata manusia di bawah tahta indah kakinya” dapat diartikan bahwa seorang ibu memiliki peran yang sangat mulia sehingga diibaratkan syurga ada di bawah telapak kakinya.
suara ibu
setiap sapa dari suara akan
menjelma ibumu
ketika nanti kerinduanmu hanya
berbalas sepi
dan hampa menjadi muara dari
airmatamu
setiap sapa dari istri akan
mengekal ibumu
ketika esok kecintaanmu hanya
berbelas sepi
dan tua menambah renta dari
mata airmu
yogyakarta, 30 september 2019
Makna Kehormatan Perempuan dalam Sajak “Suara Ibu”
Pembacaan heuristik sajak “Suara Ibu” adalah sebagai
berikut: Setiap sapa dari suara (siapapun) akan menjelma (seolah-olah suara) ibumu.
Ketika nanti kerinduanmu hanya berbalas sepi, dan tidak ada tempat untuk
mengadu. Dan hampa menjadi muara dari airmatamu, (kering dan kosong). Setiap
sapa dari istri(mu) akan mengekal (menjadi) ibumu. Ketika esok kecintaanmu
hanya berbalas sepi. Dan tua menambah renta dari mata airmu.
Selanjutnya adalah pembacaan hermeneutik. Dalam makna yang didapat penulis, puisi ini begitu luar biasa dalam menggambarkan kedudukan perempuan sebagai seorang ibu. Tersirat dari kedua bait yang sama-sama memiliki makna “kembali” kepada ibu ketika di kondisi yang terpuruk. Kedudukan perempuan sangatlah mulia di hadapan suami dan anak-anaknya. Sebab ia seperti muara dari segala mata air. Perempuan juga dimaknai secara etimologi yang berasal dari kata “empu”, yang berarti “yang memiliki” atau “sang pemilik”. Menurut Mochtar Lubis dalam pengantar novel terjemahan yang berjudul Perempuan di Titik Nol karya Nawal El-Saadawi, kata “empu” tersebut penuh dengan pengertian penuh kehormatan dan kesaktian. Dapat ditarik makna secara keseluruhan bahwa seorang perempuan memiliki kehormatan setinggi-tingginya, bahkan kerinduan kepada siapapun tidak akan bisa mengalahkan kerinduan terhadap seorang ibu.
Simpulan
Dalam kumpulan puisi Biyanglala karya Abdul
Wachid B.S. ditemukan tiga buah puisi yang mengandung nilai-nilai feminisme dan
kesetaraan gender yang meletakkan kedudukan serta kemuliaan perempuan yang
begitu luar biasa, yaitu pada puisi “4.”, “Puisi Cinta”, dan “Suara Ibu”. Pada
puisi “4.” terdapat makna yang menggambarkan tentang hakikat laki-laki dan
perempuan. Sementara itu pada puisi “Puisi Cinta” menggambarkan kemuliaan
perempuan, yang disebut secara tersirat merupakan makhluk pemilik tahta
“syurga”. Dan pada puisi “Suara Ibu”, bermakna tentang kehormatan dan kedudukan
seorang perempuan.
Persantunan
Terima kasih kepada Dr. Abdul Wachid B.S., S.S.,
M.Hum. selaku penulis buku kumpulan sajak Biyanglala, atas izin dan
dukungan yang diberikan kepada kami dalam meneliti dan memaknai buku Biyanglala.
Daftar Pustaka
Adi, Heru, & Metros P. 20XX. Epistemologi Nilai Pendidikan Akidah
Akhlak dalam Kumpulan Puisi Biyanglala Karya Abdul Wachid B.S. (Kajian
Semiotika).
Jurnal Bahastra Universitas Ahmad Dahlan. Vol. X No. X. Doi: dx.doi.org/10.26555/bahastra
Budiantoro, W. 2021. Epistemologi Komunikasi Transendental.
Yogyakarta: CV. Cinta Buku
El-Saadawi, N. 2020. Perempuan di Titik Nol.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Handono,
S., dkk. 2014. Gaya Pengarang dan Citra Perempuan dalam Sastra. Semarang:
Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah
Khudlori, A. 2016. Telaah Feminisme Dalam Puisi
“Impressions From An Office Karya N. Josefowitz. Jurnal CULTURE. Vol. 3
No. 1. (143-164)
Olifia, S. ____. Representasi Feminisme Dalam Karya
Sastra (Kajian Semiotika Novel “Eks Parasit Lajang” Karya Ayu Utami). Jurnal
Universitas Satya Negara Indonesia. (433-439)
Wiyatmi. 2012. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak Dua
Komentar
Posting Komentar