Quarter Life Crisis? Siapa Takut!!
Bismillaah.
Halo, pemirsa. Kali ini, aku dateng lagi dengan versi yang agak beda nih. Kalau sebelumnya aku suka menjelma jadi budak melankolis, suka bermain sajak dan puisi, atau majas yang masih amburadul, sekarang aku mau ngobrol dengan bahasa yang "maknyus" banget. wkwkwk apaan dah.
Jadi, aku kepikiran nulis ini itu karena terinspirasi dari beberapa curhatan temen-temen yang pernah atau sedang mengalami Quarter Life Crisis, dan dari pengalaman aku sendiri selama belasan tahun menjadi penduduk bumi. Ada beberapa hal yang kalau kita lakukan, itu tuh sebenernya kita lagi "jahat" ke diri sendiri. Apa saja contohnya dan bagaimana cara mengatasinya? Yok, kita simak penjelasan manusia random ini.
1. Insecure dan Membanding-bandingkan Diri dengan Orang Lain
Menurut aku, selain overthinking, insecure menjadi salah satu pintu gerbang datangnya masalah-masalah yang lain. Apalagi selama ada di fase Quarter Life Crisis, insecure itu selalu datang kapan pun. Pas buka sosial media, pas ngobrol sama temen yang sudah lebih dulu mencapai tujuan-tujuannya, atau pas ngeliat orang lain dengan segala kesempurnaan yang melekat di diri mereka, altough we all knew a cliche that nobody's perfect but, yah, pandangan manusia memang seperti itu. Belum lagi faktor omongan tetangga yang juga jadi penyebab kita insecure. Rasa minder dan kecil hati adalah perasaan yang amat mudah datang dan sulit diusir. Mungkin, insecure tuh sama aja merendahkan diri ya. Kita selalu merasa kurang dari orang lain, enggak memberi ruang sedikitpun buat mengapresiasi diri sendiri.
Menurut aku, selain overthinking, insecure menjadi salah satu pintu gerbang datangnya masalah-masalah yang lain. Apalagi selama ada di fase Quarter Life Crisis, insecure itu selalu datang kapan pun. Pas buka sosial media, pas ngobrol sama temen yang sudah lebih dulu mencapai tujuan-tujuannya, atau pas ngeliat orang lain dengan segala kesempurnaan yang melekat di diri mereka, altough we all knew a cliche that nobody's perfect but, yah, pandangan manusia memang seperti itu. Belum lagi faktor omongan tetangga yang juga jadi penyebab kita insecure. Rasa minder dan kecil hati adalah perasaan yang amat mudah datang dan sulit diusir. Mungkin, insecure tuh sama aja merendahkan diri ya. Kita selalu merasa kurang dari orang lain, enggak memberi ruang sedikitpun buat mengapresiasi diri sendiri.
Kadang, kepala kita tuh isinya suuzon terhadap orang lain yang sebenernya kita juga suuzon ke diri sendiri. Misalkan, kalau kita terbiasa dengan pandangan bahwa ah cantik itu kalau punya kulit putih, rambut panjang, hidung mancung, bla bla bla. Lalu kita sibuk untuk mengikuti cara pandang kita yang keliru itu, berfikir bahwa standar masyarakat tentang cantik itu ya harus begini harus begitu. Padahal, enggak semua begitu. Selalu ada yang melihat kita dari cara pandang yang lain, kok.
Contoh yang lain, ketika kita mengalami kegagalan sedangkan orang lain sudah mencapai tujuannya, kita seringkali protes, kenapa aku nggak bisa juga kayak mereka? Well, kita lupa, bahwa kita punya timeline masing-masing. Sebelum akhirnya terkesan protes, kenapa kita enggak lebih dulu introspeksi diri kenapa kita bisa lebih lambat dari orang lain? Bisa jadi memang start yang mereka ambil jauh di depan kita. Kalau memang begitu, ya kita harusnya menerima. Logikanya, disaat mereka udah lari dan kita masih sibuk benerin tali sepatu, kira-kira kalau kita terlambat, wajar nggak? Wajar, dong. Atau kasus lain, kita punya start yang sama tapi tetep aja mereka lebih dulu sampai, padahal menurut kita, effort-nya enggak se-maksimal kita. Gini, itu semua tuh, enggak apa-apa, gais. Terlambat juga enggak se-salah itu, kok. Yang penting kita bisa bermanfaat dan memaksimalkan kemampuan. Intinya, biar enggak insecure, aku meminta tolong pada kalian dengan segenap kasih sayang. please, stop comparing ourself with others. hehehe. Rendah hati boleh, rendah diri jangan.
"Mari kita coba untuk berfokus pada fakta, bukan pada penilaian atau kesimpulan yang kita buat sendiri. Karena, penilaian atau pemaknaan kita pada diri sendiri itu yang kadang bikin kita overwhelmed." -Satu Persen Podcast
2. Negative self-talks dan Suka Menghakimi Diri Sendiri
"Mari kita coba untuk berfokus pada fakta, bukan pada penilaian atau kesimpulan yang kita buat sendiri. Karena, penilaian atau pemaknaan kita pada diri sendiri itu yang kadang bikin kita overwhelmed." -Satu Persen Podcast
2. Negative self-talks dan Suka Menghakimi Diri Sendiri
Beberapa yang sering aku dengar, dan aku lakukan juga, kita itu kebanyakan ngejek diri sendiri, iya nggak sih? Oke, kalau yang enggak, berarti kalian keren. Nah, aku pribadi, ketika akan melakukan sesuatu seringkali banyak pikiran-pikiran yang muncul dan mengarah ke negative self-talks. Misalkan, aku enggak bisa, aku orangnya emang gini, mana bisa aku kayak gitu, percuma aku gak punya kemampuan kekgitu, ah paling nanti juga aku nyesel. Padahal, belum dicoba.
Contoh lain yang aku alami sendiri, salah dikit langsung, ah dasar ga becus lu Ci, jadi orang kok bodoh banget si, ih ga berguna banget, ah pasti aku bikin kecewa semua orang, semua benci ke aku deh kayaknya, Ci keputusanmu salah banget, dan lain sebagainya. Well, kita ternyata terlalu cepet juga dalam hal menghakimi diri sendiri atas kesalahan yang kita perbuat di hari kemarin. Kayak, gaboleh ada salah sama sekali.
Menurutku, negative self-talks seperti ini juga mempengaruhi bagaimana kita bersikap pada orang lain. Kalau kita terbiasa menghakimi diri sendiri, bukan hal yang aneh jika kita juga dengan mudahnya mengejek dan menghakimi kesalahan orang lain serta sulit untuk memaafkan. Pun berlaku sebaliknya. Anyway, sampai detik aku nulis ini, aku pun masih belajar untuk sekedar ngomong: ngga apa-apa ke diri sendiri. Still on progress. Boleh dicoba kalau kita melakukan kesalahan, hal pertama ya instrospeksi kesalahan kita, akui, minta maaf *jika kesalahan yang kita perbuat berhubungan dengan orang lain, lalu maafkan juga diri kita yang telah melakukan kesalahan.
3. Denial Terhadap Emosi Negatif
Kita semua pasti tau apa saja emosi negatif yang ada di dalam diri. Marah, sedih, kecewa, bete, benci, dan lain-lain. Iya, kita semua tau tapi sedikit yang mau mengenal dan menerimanya alias banyak yang lebih memilih untuk denial, seolah-olah emosi negatif adalah sesuatu yang tabu untuk dilakukan. Fatalnya, lalu menganggap semuanya baik-baik saja. Menurut apa yang aku rasakan, memendam emosi itu enggak selalu berdampak baik. Disisi lain aku juga setuju kita harus jadi pribadi yang sabar. Tapi, sangat penting juga untuk menyadari bahwa kita manusia yang sangat wajar punya emosi negatif. Karena, emosi negatif yang dibiarkan menumpuk itu bakal kayak bom waktu, sewaktu-waktu bisa meledak.
Jadi, sebelum itu terjadi, its okay untuk mengekspresikan emosi negatif kita, sebagaimana kita mengekspresikan emosi positif seperti senang, semangat, dan ketawa. Enggak apa-apa marah, tapi enggak boleh lebih dari tiga hari, hehehe. Enggak apa-apa nangis, bersedih-sedih gundah galau gulana, tapi jangan berlarut-larut. Selain kita juga harus utarakan sama Allah, sama Tuhan kita, kita juga boleh kok utarakan sama orang lain minimal ke keluarga atau teman terdekat, siapa yang tau bisa jadi Allah kasih jalan keluar lewat orang lain. Banyak cara kok, enggak harus cerita secara langsung. Bisa kita tuangkan lewat tulisan, lagu, atau apapun sesuai dengan cara kalian masing-masing. Tapi ini sih tergantung sama prinsip kalian ya. Hehe.
Yang pasti, kalau emosi kita kayak udah engga bisa terkontrol, enggak ada salahnya kita dateng ke ahlinya, supaya segera dapet penanganan yang tepat. Kita harus mulai aware sama kondisi mental kita sendiri. Karena aku pribadi setuju sama kalimat yang mengatakan bahwa, "orang yang pandai memahami diri sendiri dengan baik, maka kemungkinan akan pandai pula dalam memahami orang lain."
Intinya, jangan sampai menumpuk-numpuk emosi negatif ya gais. Boleh banget jugaa kalau mau curhat dan tumpahin ke aku!! Hehehehe
4. Terpaku Pada Masa Lalu (GAGAL MOVE ON)
Well, semua orang memiliki masa lalunya masing-masing. Ini adalah kalimat klise ke sekian yang sangat sering aku lihat dan dengar. Enggak bisa pungkiri, masa lalu memang telah berlalu tapi masa lalu juga tetap berpotensi membuat seseorang stuck di situ-situ aja padahal udah beda waktu. Ini bisa terjadi pada orang-orang yang memiliki masa lalu kurang menyenangkan atau sangat menyenangkan. Jadi kek enggak bisa move on gitu deh. Akibatnya cukup parah, sih, menurut aku. Aku jadi enggak bisa 'tumbuh', enggak bisa melakukan hal-hal baru, sulit untuk menjalani hari besok, sulit untuk merencanakan sesuatu, dan sulit untuk menemukan hal baik dari kenyataan yang sering enggak sesuai sama ekspetasi.
Well, semua orang memiliki masa lalunya masing-masing. Ini adalah kalimat klise ke sekian yang sangat sering aku lihat dan dengar. Enggak bisa pungkiri, masa lalu memang telah berlalu tapi masa lalu juga tetap berpotensi membuat seseorang stuck di situ-situ aja padahal udah beda waktu. Ini bisa terjadi pada orang-orang yang memiliki masa lalu kurang menyenangkan atau sangat menyenangkan. Jadi kek enggak bisa move on gitu deh. Akibatnya cukup parah, sih, menurut aku. Aku jadi enggak bisa 'tumbuh', enggak bisa melakukan hal-hal baru, sulit untuk menjalani hari besok, sulit untuk merencanakan sesuatu, dan sulit untuk menemukan hal baik dari kenyataan yang sering enggak sesuai sama ekspetasi.
Dalam konteks relationship, aku yakin beberapa dari kita ada yang masih sakit hati sama mantan, teman, keluarga, atau rekan kerja karena suatu hal. Misal, ucapan mereka ada yang menyakiti, atau perbuatan mereka bikin kita seolah-olah enggak ada harga diri, bisa juga karena janji mereka yang tak kunjung di tepati. *aduh, kalau ini, sih, sebenarnya aku sendiri juga mungkin pernah kayak gitu ke orang lain, hiks. Oke, gapapa. Aku pengen ngomong dalam sudut pandang 'korban'. Kalau kita punya masa lalu yang kayak gini, kita itu harus mengerti satu hal: enggak semua hal bisa kita atur dan bisa kita kendalikan. Kalau menurut Satu Persen, kita harus bisa bedain mana aja hal-hal yang bisa kita atur dan enggak bisa kita atur. Omongan orang, komentar-komentar tetangga, pandangan orang lain ke kita, itu contoh yang enggak bisa kita atur. Karena mata hati orang kan beda-beda, cara bicara orang juga beda-beda. Yang bisa kita atur adalah diri kita sendiri. Titik.
Dalam konteks kegagalan, kehilangan, keterlambatan, penyesalan, dan seperangkatnya, ini singkat aja gais. Pokonya, its okay kita gagal, kita kehilangan semua hal yang kita punya, kita terlambat dari semua orang karena faktor yang kompleks, tapi jangan sampai kita berlarut-larut dalam penyesalan sampe akhirnya gabisa growing. Itu aku banget, sih, to be honest. Dan aku sangat sangat enggak menyarankan kalian buat kayak gitu, karna itu tu jahat banget gais sama diri sendiri. Kayak sama aja aku enggak menerima kodrat sebagai manusia yang bisa salah, bisa gagal, bisa kehilangan karena bahkan diri aku sendiri bukan milik aku, iya kan?
Oke gais, intinya aku mau bilang ini: "sehancur apapun duniamu, dunia di sekitarmu bakal tetep berjalan selagi kamu masih bernapas. Seburuk apapun kamu di hari kemarin enggak menentukan bagaimana kamu di hari besok, yang menentukan adalah kemauan kamu buat membaik di hari ini."
Quarter Life Crisis? Siapa takut!!
MasyaAllah sucii mantapp terima kasih ya udah nge reminder akuu😍😍
BalasHapusasik nuhun ciw
BalasHapus