#Jurnal01, Menghidupkan Hari Minggu

28 Maret 2021

Akhir pekan bagiku adalah waktu untuk terbebas dari segala macam kegiatan yang mengikat. Aku bebas menggunakannya untuk apa saja semauku, setelah enam hari bergelut dan beradu dengan jadwal yang monoton dan itu-itu saja. Aku senang menikmati Minggu yang bebas. Tetapi juga benci karena di hari Minggulah aku bertemu dengan sisi diriku yang menyebalkan sebab saking kosong dan bebasnya. Hal-hal yang tak ku pikirkan di hari-hari biasa, seringkali menyerangku di hari Minggu. Mungkin bagiku, setan di hari Minggu jauh lebih banyak. Mereka mengajakku menangis meratapi hidup, menyeretku ke penyesalan-penyesalan, membawaku terbang bersama khayalan yang nantinya juga akan membuatku jatuh mati tersisa badan dan rasa kecewa. Sampai-sampai beberapa kali aku berpendapat lebih baik hari Minggu dihilangkan saja, tetapi itu terdengar konyol sekali, bukan? Dan tentu saja, aku pun menyadari akan lebih banyak orang yang tidak terima jika hari Minggu di tiadakan. Misalnya, beberapa pasangan yang kehilangan satu hari sakralnya untuk bersua melepas rindu, atau para pelajar dan mahasiswa yang kehilangan satu hari sucinya untuk maraton drakor dan melupakan tugas-tugas yang seabreg. Sisi lain dari diriku pun sebenarnya enggak rela jika hari Minggu ditiadakan. Karena ya, itu satu-satunya hari yang bebas untuk manusia random sepertiku. 

Alhasil, karena keinginanku untuk hidup tanpa hari Minggu adalah hal yang konyol, maka yang aku lakukan adalah membuat hari Mingguku bebas sebebas-bebasnya, termasuk bebas dari sisi diriku yang menyebalkan tadi. Menjauhi kasur dan rumah seharian, untuk berjalan sejauh yang kakiku mampu capai. Kemana saja. Selagi ada duit, tentu saja. 

Kali ini, aku memutuskan untuk melangkah ke kota kecil dengan waktu tempuh satu jam dari desa tempat tinggalku. Sejak hidup dua puluh satu tahun berada di kabupaten yang sama, aku baru pertama kali menginjakkan kaki di terminal kota ini. Dan ketika aku turun dari bus, satu fakta yang baru aku sadari adalah bahwa bandara, stasiun, dan terminal, memiliki aroma yang sama. Mereka adalah wadah keramaian yang menyimpan bermacam-macam cerita. Kedatangan, kepergian, kepulangan, keberangkatan, pertemuan, perpisahan, hampir-menghampiri, sambut-menyambut, lambaian tangan, uluran tangan, serta penantian baik yang bertuan maupun yang tak berujung. Dan, aku belum pernah ke pelabuhan. Tetapi, aku pikir tidak akan berbeda jauh. Hanya ditambah bau air laut serta bunyi debur ombak, mungkin. 

Aku duduk di depan ibu-ibu dan bapak-bapak yang sedang bercanda tawa. Sambil tetap menunduk fokus dengan buku yang aku pegang, sesekali telingaku bergetar ketika mendengar candaan mereka yang menggelitik sisi recehku, lalu menjelma menjadi tawa kecil yang tersembunyi di balik masker yang aku kenakan. Adalah aku, yang selalu menciptakan dunia sendiri di tengah keramaian, tetapi tetap melongok ke dunia sekitar, menikmati apapun yang aku dengar dan lihat, sendirian.

Sesekali mataku beralih dari buku dan mengamati kaki-kaki yang bergerak bolak-balik di depan mataku. Turut merasakan kesibukan yang menurutku menyenangkan. Dari sinilah awal mula semesta mengajariku tentang suatu hal mendasar yang nanti akan aku sebutkan di akhir tulisan ini. 

Seorang ibu penjual minuman menghampiriku, menyapaku ramah, bertanya akan kemana diriku, yang lantas kujawab dengan di tutup senyum serta anggukan kepala. Ketika aku berjalan menuju sudut lain yang sebenarnya aku tidak tahu mau kemana, aku melewati kerumunan bapak-bapak yang ramah sekali menanyai tujuanku atau apa yang aku cari, meskipun aku tahu pula mereka hanya akan menawarkan ojek, atau taxi. Aku berjalan lagi sambil tengak-tengok dan melihat papan nama terminal yang sudah tidak dipasang sehingga aku tahu nama terminal itu adalah Terminal Bulupitu. Di ujung belokan koridor, seorang bapak yang menurutku berusia tiga puluh tahunan menghampiriku, menanyai tujuanku juga. Aku memberi tahunya bahwa aku sedang menunggu jemputan teman. Tanpa diminta, beliau menuntunku dan memberi tahuku letak pintu keluar dan katanya ada taman yang biasa digunakan untuk orang-orang menunggu jemputan. Bapak itu bertanya apakah aku baru pertama kali kesini dan dengan malu-malu aku jawab iya. Aku malu sendiri karena, ya, begitu lah. Aku tersenyum dan berterima kasih, sebelum akhirnya bergegas mencari posisi duduk yang nyaman untuk melanjutkan membaca. Kadang aku melihat kucing-kucing liar tak bermajikan berseliweran sehingga aku panggil untuk sekedar aku puk-puk puncak kepalanya. 

Beberapa saat ketika aku sedang tenggelam lagi dengan tulisan-tulisan Nawaal El-Saadawi, bunyi krincing becak terdengar. Kepalaku terangkat dan melihat pak tua yang mengayuhnya dengan senyum lebar mengucapkan "disambi liren, mba". Aku terpaku, sedetik kemudian menjawab "nggeh, pak" sambil membalas senyum dan raut wajah amat senang seolah mendapat saluran energi dari pak tua. 

Mungkin bagi sebagian orang, sapa-menyapa dengan orang tak tak dikenal adalah hal yang biasa, atau bahkan aneh. Tapi kali ini aku berusaha untuk memandangnya secara berbeda: aku merasa 'terlihat' dan keberadaan manusia selalu ada gunanya meskipun hanya diam dan melihat. Setelah ini, aku mungkin akan senang menyapa orang juga di tempat umum. 

Lalu tentang pak tua yang mengayuh becak, aku terpaku karna ucapannya yang menurutku sangat menghangatkan siapapun yang mendengar. Yang seharusnya istirahat itu beliau sendiri. Tapi wajah sumringahnya menyadarkanku bahwa selelah apapun diri ini, bukan lantas membuat bahagia itu luntur. Seberat apapun beban di pundak, tidak serta merta membuat diri ini jatuh tersungkur, tetapi justru harus lebih menguat.  

Baiklah, beberapa hal yang aku ceritakan di atas hanyalah secuil dari banyaknya pelajaran yang aku tangkap saat ini. Hanya di awal perjalanan. Di tengah, dan di akhir pun, semesta tak henti-hentinya menyuguhkan aku hidangan yang nikmat. Sesekali menjawab beberapa tanya, dan menyuntikkan energi baru atas rapuhnya makhluk kecil yang bersemayan di dalam diriku. 

Dan inilah kesimpulan yang ingin aku katakan. Kesimpulan indah dari perjalanan entah sedekat dan sejauh apapun. Kesimpulan indah yang sempat aku lupakan dan membuatku tidak mau lagi berjalan jauh. 

Bahwa hidup adalah perjalanan. Dan perjalanan adalah segala tentang pelajaran berharga. 

Tak pernah ada manusia yang rugi atas perjalanan yang ia  tempuh. Karena setiap menempuh perjalanan dengan mata, telinga, dan hati yang terbuka lebar, maka manusia itu sedang menjadi manusia seutuhnya, dan hidup seutuhnya.

Jadi, mari jalan-jalan!

Komentar

Postingan Populer