How Long is Forever?

Judul dalam tulisan ini adalah pertanyaan besar yang tercetak dalam sampul novel yang baru saja selesai aku baca. Iya, lagi-lagi, aku mau cerita tentang sebuah buku. Dua minggu yang lalu, seorang teman mengirimiku sebuah novel yang setebal kitab suci berjudul Wandering Star. Dan tahu nggak? Temanku menyelesaikan bacaan setebal itu hanya dalam waktu satu hari (tercatat di sana ia mulai membaca tanggal 28 ramadhan dan selesai pada 29 ramadhan). Entahlah, sampai sekarang aku masih heran ada yang bisa membaca dalam waktu satu hari. Tak hanya membaca kilat, aku juga yakin ia mampu menangkap semua saripati buku dengan baik, terlihat dari catatan-catatan kecil dan garis-garis rapi pada setiap halaman yang mengandung banyak pesan dan pelajaran. Keren banget busetdah. Nggak relate sama aku yang kalau baca satu halaman aja belum tentu paham isinya. :)

Kembali ke isi buku. Jadi, buku ini menceritakan tentang pertemuan dua orang yang...sama-sama belum selesai dengan diri sendiri. Taka, memiliki masalah dengan duka dan kehilangan (dalam hal ini kehilangan seorang ayah), dan Kaila, bermasalah pada hubungannya dengan ayahnya. Diceritakan bahwa awal mula mereka bertemu, kesan pertama pada satu sama lain sangatlah baik. Bahkan, keduanya sama-sama tertarik karena mereka sama-sama melihat keunikan dalam diri masing-masing yang (qadarullah) juga sefrekuensi. Jadi, kenalannya nyambung banget gitu. Makin hari, makin kenal, ternyata ada banyak luka-luka yang ada dalam diri mereka masing-masing. Hmm.. Aku jadi berpikir. Setiap dari kita, sebagai manusia, memang begitu kan? Semakin kita mengenal seseorang, kita semakin tahu hitam, putih, dan abu-abunya. Kadang, konflik-konflik dengan orang-orang sekitar, itu sebenarnya bukan selalu pertanda buruk, tetapi pertanda kita semakin mengenal orang-orang itu. Tetapi apakah kita akan bertahan pada hitam dan abu-abunya juga? atau justru.. run away? Thats a choice.

"All the dots are connected to each other." (hlm. 186)

Salah satu poin penting yang aku tangkap dari buku ini adalah bahwa semua hal yang terjadi di dunia ini saling terkoneksi. Misalnya, diceritakan bahwa Taka tak sengaja meninggalkan buku sketsanya di cafe, dan ternyata yang menemukan adalah Kaila. Hal kecil itu berlanjut pada pertemuan-pertemuan berikutnya yang ternyata berdampak besar bagi mereka. Kalau kita refleksi lagi ke cerita kita, pasti kita pernah mengalami hal-hal kecil yang ternyata berdampak besar di kemudian hari. Mari renungkan lagi bersama. Lagi-lagi, untuk ini, kita perlu sedikit meradikali Rolf Dobelli yang mengatakan segala hal hanyalah kebetulan. Tidak, tidak ada hal sekecil apapun yang bisa dianggap kebetulan. Bahkan kentut kita di pagi hari saja bukan suatu kebetulan, kan. Bisa jadi alarm tubuh. :)

"Kita boleh berdoa dan berharap punya orang tua yang sempurna, tapi kita nggak boleh lupa kalau orang tua kita juga tetap manusia biasa, La. Dan seperti yang kamu tahu, sulit bagi manusia untuk jadi sempurna. Kita semua pasti kurang pada porsinya," (hlm. 240)

Kalimat Taka untuk Kaila saat Kaila kesulitan menjalani hidup dengan hubungan yang kurang baik dengan ayahnya, sedikit-banyak telah menamparku. Tanpa mengecilkan perasaan-perasaan trauma masa kecil, atau, ingatan-ingatan Kaila tentang abusif ayahnya (atau kalian yang memiliki kisah serupa), aku setuju dengan ucapan Taka. Walau hingga akhir buku, aku kurang menangkap bagaimana akhirnya Kaila bisa berdamai dengan ayahnya. Atau sepertinya penulis ingin mengatakan tersirat bahwa hal-hal yang berkaitan dengan trauma masa kecil dan duka, mungkin memang tak bisa selesai dengan begitu saja. Perlu waktu yang tidak sebentar, dan, mungkin juga perlu dibantu dengan ahli. Sebab diceritakan bahwa Kaila memang sudah memaafkan, sudah menerima, tetapi setiap malam, ingatan tentang abusif ayahnya masih seringkali membuat Kaila ketakutan, gemetar, dan kesulitan tidur. Aku semakin paham kalau seseorang dengan trauma tidak bisa semudah itu disuruh berdamai.

How long is forever?

Kalau kata Kaila, selamanya itu ya, selama kita masih mengingat sesuatu. So i think, if u said that u love someone forever, its hoax. :v

Pada intinya, aku menyadari kalau Taka dan Kaila adalah gambaran dua manusia yang sama-sama tak sempurna, sama-sama memiliki luka masa lalu, sama-sama belum sepenuhnya berdamai dengan diri sendiri, tetapi mereka mampu berdampingan. Ini yang jadi poin utamanya. Ternyata bisa, kok. Bahkan mungkin dari keterbatasan dan ketidaksempurnaan itu, keduanya justru semakin menguatkan. Walau dalam real life, tentu  hal-hal seperti ini tak semudah cerita novel. Tapi, aku yakin cerita semacam ini ada dalam kehidupan nyata. Yang tak kalah penting, walau keduanya sama-sama memiliki luka, tak ada satu pun dari mereka yang menuntut untuk mengobati satu sama lain. Mereka hanya berdampingan dan obat itu tetap berasal dari diri mereka sendiri. Tak terkecuali.

Sekian.


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer