Napak Tilas Perjalanan Melalui Duka

Seorang teman mendatangiku dan bercerita bahwa ia sedang membaca sebuah buku. Namun, baru baca bab awal, dia sudah 'tidak kuat', katanya. Air matanya tak berhenti menetes sepanjang membaca buku itu. Aku penasaran buku apa yang memiliki damage sebesar itu? Ia mengatakan buku itu berjudul "Seorang Lelaki yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring", karya dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ. Ah, pantas saja. Dari judulnya saja sudah bisa dikira-kira, buku itu adalah buku tentang kedukaan. Duka mana yang sekiranya bisa membuat seseorang tertawa?

Dan, di sinilah kini. Buku itu telah selesai aku baca. Lagi-lagi, aku percaya, bukan hal kebetulan aku diberi kesempatan untuk membacanya. Tentu, hanya atas izin Tuhanku. Setidaknya ada beberapa hal yang berhasil aku tangkap dari buku ini. Ya, aku rasa, Tuhan ingin aku kembali napak tilas perjalanan melalui dukaku yang telah berjalan selama lebih dari 6 tahun ini. Menelusuri kembali perasaan-perasaan apa yang dulu aku rasakan bahkan hingga sekarang, dan... menjawab pertanyaan-pertanyaan yang seringkali masih bersarang di kepala. 

Berdukalah sesukamu..

Berduka itu apa sih? Gimana cara menjalaninya? Nggak ada jawaban pasti apa itu berduka. Karena perasaan duka bisa menjelma jadi banyak banget jenis perasaan dan perilaku. Namun dalam buku itu, dijelaskan kalau perasaan yang muncul pada orang berduka dalam 24 jam adalah perasaan bingung (berdasarkan cerita-cerita yang dikumpulkan dari orang-orang yang tergabung dalam klub berduka). Loh, kok bingung? Kalau kamu mengira orang yang baru saja berduka itu sedih, salah. Bahkan, aku sendiri saja menangis hanya sebentar, sisanya tersenyum, tertawa, menanggapi pelayat yang justru malah mereka yang menangis memelukku. Iya, perasaan duka yang muncul memang lebih dari itu, dan akhirnya yang dominan adalah bingung. Bagaimana tidak? Lima menit yang lalu, kamu sedang tertawa bersenda gurau dengan seseorang yang kamu sayang. 5 menit berikutnya, orang tersebut sudah tidak ada lagi.

Pada kasusku, kebingungan itu tampaknya melanda sekeluarga. Bapakku yang bingung melihat baju-baju ibu mau diapakan pada akhirnya memilih membuang dan membakarnya. Aku marah karna menurutku baju-baju itu bisa untuk digunakan olehku sebagai kenang-kenangan. Adikku yang bingung mau melanjutkan hidup bagaimana? Pada akhirnya memilih menjauh dari rumah dan tinggal dengan saudara di beda kota yang jauh dari rumah. Aku yang bingung mau mencapai sesuatu untuk alasan siapa lagi? Pada akhirnya memilih berhenti dan sempat berubah-ubah rencana. Iya, sekeluarga bingung. Seringkali kebingungan itu juga menjelma sebagai rasa bersalah sekaligus marah. Bingung lagi, kan? Rasa bersalah itu muncul karena kami merasa...seharusnya, kami bisa melakukan sesuatu yang lebih dari itu agar orang yang kami sayang masih bisa hidup bersama kami. Tetapi karna kami tak bisa melakukan itu, maka muncul kemarahan. Marah pada diri sendiri, marah pada bapak, marah pada...hal-hal yang menurutku pantas untuk disalahkan. Iya, itu semua reaksi duka. Dan itu terjadi pada banyak orang yang baru merasakannya (menurut buku yang aku baca).

Jadi, berdukalah sesukamu. Tidak ada yang boleh dan bisa mengatur bagaimana seseorang harus bertindak ketika berduka. Kamu boleh bingung. Kamu boleh menangis. Kamu boleh tidak menangis. Kamu boleh marah. Kamu boleh tidak marah. Kamu boleh bercerita. Kamu bahkan boleh untuk tetap diam. Pada akhirnya, jangan ajari orang cara untuk berduka dan jangan bandingkan dukamu dan dukanya.

Berduka itu, nggak bisa diukur berapa lamanya, tapi...

Iya, sama seperti perjalanan mengenal diri sendiri, berduka juga menurutku perjalanan yang akan kita jalani seumur hidup. Kadang, aku bertanya-tanya, kapan aku harus berhenti berduka? Atau kapan aku harus berhenti menangis ketika berusaha mengingat suara-suara orang yang telah menghilang dari dunia ini? Hmm.. Dalam buku ini, aku menemukan hal menarik yang selama ini aku pikirkan. Kita sering mendengar kalimat, "waktu akan menyembuhkan," kan? Tetapi, ternyata, yang penting bukan berapa lama kita akan sembuh, tapi apa yang dilakukan selama kita menjalani waktu tersebut? 

Analogi sederhana yang digunakan adalah ketika mencuci piring. Anggaplah luka dan duka itu adalah wajan kotor dengan kerak yang sangat membandel. Kita nggak mungkin langsung menggosok wajan itu saat itu juga. Pasti kita perlu waktu untuk merendamnya, dan membiarkan kerak itu melunak dan rontok dahulu. Barulah kita bisa menggosok wajan dengan sabun dan membilasnya dengan bersih. Iya, kita butuh waktu untuk menyembuhkan luka dan duka. Tapi, selama menjalani waktu berduka itu, kita juga perlu melakukan sesuatu, bukan diam saja meratap dan menunggu waktu tanpa melakukan apa-apa. Bayangkan jika kita membiarkan wajan dengan kerak kotor teronggok begitu saja di wastafel tanpa merendamnya dan menunggunya hingga berhari-hari, apakah kerak itu akan meluruh? Tidak. Justru semakin kotor, bau, dan menimbulkan penyakit baru (kemungkinan terburuk).

Tetapi, muncul lagi pertanyaan, ketika wajan itu bersih, apakah sama saja wajan itu akan selalu bersih? Dengan kata lain, apakah duka itu tidak akan hadir lagi? Ya, tentu, duka itu akan tetap ada dan hadir lagi, karena wajan itu juga akan kita gunakan lagi keesokan harinya. Seperti yang kubilang, duka akan kita jalani seumur hidup. Tetapi, kita sudah paham cara merawatnya. Kita sudah bisa menerimanya, dan kita lebih mahir untuk mengolah duka itu jadi bentuk-bentuk lain yang lebih indah dan bijaksana.

Izinkanlah dirimu untuk menyalahkan diri sendiri, tapi.... (hehe, banyak tapinya)

Seperti yang aku sampaikan di atas (berdasarkan isi buku), reaksi berduka itu bisa bermacam-macam sekali, salah satunya rasa bersalah yang begitu kuat. Tetapi.... Dalam buku ini, kita juga diajak untuk melakukan langkah penting setelah menyalahkan diri sendiri yakni memaafkan. 

Maafkanlah dirimu sendiri karena kamu saat itu bodoh.
Maafkanlah dirimu sendiri karena saat itu kamu tidak bisa melakukan lebih.
Maafkanlah dirimu sendiri karena kamu tidak bisa meramal masa depan, sehingga kamu tidak bisa melakukan hal yang berbeda. 

-Andreas Kurniawan, dalam buku Seorang Lelaki yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring.

Mulai dari memaafkan, kita akan pelan-pelan menuju ke penerimaan atas duka kita.

Dalam menjalani duka, kita akan menghadapi kehidupan New Normal yang Asimetris

Pada akhirnya, aku memaknai bahwa hidup memang perihal dua hal yang paradoks. Datang dan pergi. Temu dan pisah. Suka dan duka. Tangis dan tawa. Tetapi, tetap ada jalan di antara kedua hal yang paradoks itu, yang aku anggap sebagai titik tengah. Dan di titik tengah itulah letak penerimaan. Dalam bab terakhir buku ini, disebutkan bahwa dalam berduka, kita diajak untuk menjalani kehidupan new normal. Kita perlahan akan hidup seolah tak terjadi apa-apa, memasang wajah terbaik, tersenyum manis, dan tertawa bahagia. Kalau perlu, kita bahkan kadang berpura-pura kuat. Tetapi, yang akan berbeda adalah kebiasaan baru dan realitas baru kita. Realitas bahwa orang-orang yang dulu hadir di hidup kita, ternyata telah pergi, kehadirannya tak abadi. Memangnya apa yang abadi di dunia ini?

Ternyata, dalam menjalani kehidupan new normal after grief (entah kehilangan dalam arti kematian, atau yang lain), kita perlu menyeimbangkan berbagai hal. Kesehatan jasmani dan rohani, pekerjaan dan hiburan, makanan dan pola tidur, dan lain sebagainya. Tetapi, keseimbangan itu (menurut dr. Andreas Kurniawan) tidak selalu bersifat simetris. Misalnya, kita tidak harus bekerja lima hari untuk mendapatkan libur selama lima hari juga kan? Kita juga tidak tidur selama 12 jam untuk melek selama 12 jam pula. Jadi, tidak semua hal harus seimbang secara mutlak.

Semakin hari, kita akan semakin belajar bahwa keterbatasan dan ketidaksimetrisan itu justru bisa membawa keindahan. Keterbatasan dalam berkomunikasi dengan teman yang jauh dan kita bahkan hanya mampu berkirim doa, itu justru akan semakin memupuk rindu dan ketulusan. Atau, emas yang jumlahnya terbatas, pasti memiliki harga jual yang tinggi. Dan, waktu. Waktu adalah sumber daya paling berharga di dunia ini. Di dunia serba cepat ini, orang-orang mulai berlomba-lomba "membeli" waktu di masa depan untuk menghabiskan waktu bersama orang-orang tersayang. Sebab itulah, kesadaran akan keterbatasan waktu menjadikan seseorang lebih bijak dan menghargai hal-hal kecil yang ada di sekitarnya. 

"Duka lara hanya datang dengan sukacita. Hanya berganti rupa dalam peristiwa.
Dalam sepi terciptalah manusia mandiri. Hanya kesepian yang bisa membantumu reda.
Dalam sedih terciptalah manusia penuh syukur, yang merayakan indah pertemuan sampai dipisahkan."

-Kunto Aji, Asimetris.

Iya, kini aku, bapakku, dan adikku, serta keluargaku, telah menjalani kehidupan baru.
Kamu, kita semua, juga telah menemui hari-hari yang baru.
Kita telah berada di masa kini dengan sangat baik, dengan sebaik-baiknya, dengan seada-adanya. Bagiku, bertahannya kita adalah hal yang sangat berharga.

"Betapa indah perjalanan melalui duka ini, perjalanan menyelami diri, memaafkan diri, dan menerima diri sendiri beserta hitam putih yang menyertainya."


Komentar

Postingan Populer