Bolehkah Aku Bahagia?
Judul tulisan ini mungkin judul yang cukup aneh. Tetapi, aku mau, siapapun yang membaca ini, bacalah judul ini sebagai pertanyaan untuk dirimu sendiri. Bolehkah aku bahagia? Untuk menjawabnya, kita coba merenung bersama ya.
Aku memahami, setiap dari kita memiliki latar belakang yang berbeda. Agama, suku, ras, keluarga, dan kondisi jiwa dan raga. Setiap dari kita tumbuh dewasa membawa seluruh memori yang terjadi di masa kecil, masa remaja, dan masa yang telah lalu. Ada yang sebagian besar adalah memori bahagia. Ada pula yang sebagian besar atau hampir seluruhnya adalah memori yang buruk. Aku mengerti, setiap dari kita, memikul memori itu dengan porsi kita masing-masing. Memori itu kemudian secara tak sadar, membentuk bagaimana diri kita di masa kini. Beberapa orang bahkan mengubah identitas diri mereka karena pengalaman masa lalu.
Aku ingat betul ketika sekolah literasi tahun 2022, Pak Guru sempat membahas salah satu buku Jared Diamond yang berjudul Upheaval. Dalam buku itu, Jared menjelaskan cara individu menghadapi krisis mirip dengan bagaimana negara menghadapinya, dan dia mengacu pada konsep psikologis tentang mekanisme coping (coping mechanisms). Nah, salah satu poin yang sangat aku ingat hingga sekarang adalah bahwa setiap manusia di dunai ini pasti pernah mengalami krisis. Dalam konteks individu, krisis ini bisa dalam bentuk yang bermacam-macam. Bisa krisis ekonomi, perpecahan dalam keluarga, putusnya relasi pertemanan, atau duka yang begitu dalam. Ternyata, setiap individu juga memiliki perbedaan dalam merespon krisis ini. Mekanisme coping yang diambil juga berbeda-beda.
Setidaknya ada 3 jenis mekanisme coping yang saat itu disampaikan oleh Pak Guru berdasarkan intisari Upheaval. Ada orang yang menghadapi krisis dengan cara 'merusak' diri sendiri akibat ketidakmampuan menerima krisis tersebut. Mungkin beberapa dari kita ada yang pernah menemui orang yang sedang kriss dan mereka lari pada obat-obatan terlarang, minuman keras, atau judi, yang menurut mereka bisa menenangkan diri mereka dari beratnya krisis. Ada pula orang yang memilih jalan penerimaan. Mereka menerima apapun yang menimpa mereka tanpa mengubah identitas diri mereka, tetapi mereka cenderung "belum move on" dan masih dalam selubung masa lalu. Dan yang terakhir, adalah orang-orang yang memilih mekanisme coping dengan cara meninggalkan identitas mereka yang lama, dan membentuk identitas baru di masa kini menjadi pribadi yang lebih tangguh.
Kira-kira, kita, ada di golongan yang mana?
Nah, mari kembali pada pertanyaan awal. Bolehkah aku bahagia? Bagiku, krisis yang kita hadapi ini sangat berkaitan dengan konsepsi bahagia. Apakah seseorang bisa benar-benar merasakan kebahagiaan jika masih terbelenggu oleh krisis yang belum terselesaikan? Atau, apakah kebahagiaan itu justru hadir ketika kita mampu berdamai dengan segala krisis yang pernah ada?
Aku percaya, kebahagiaan bukan sekadar tentang keadaan yang sempurna atau hidup yang tanpa masalah. Ia lebih seperti sebuah perjalanan yang sangat panjang, sebuah pilihan yang kita buat meskipun jalan yang kita tempuh penuh dengan batu dan duri. Setiap orang memiliki definisi kebahagiaannya masing-masing, tetapi ada satu benang merah yang bisa kita tarik: kebahagiaan tidak akan datang jika kita terus-menerus memandang masa lalu sebagai beban yang menghambat kita untuk melangkah ke depan.
Lalu, bagaimana jika masa lalu itu begitu berat? Bagaimana jika luka-luka dan memori buruk itu masih terasa nyata di dada? Aku tidak akan berkata bahwa melupakan itu mudah, atau bahwa berdamai dengan masa lalu adalah sesuatu yang bisa dilakukan dalam semalam. Namun, aku ingin mengajakmu untuk melihatnya dari sudut pandang yang berbeda: bagaimana jika kita tidak harus melupakan, tetapi justru menerima dan memahami? Bagaimana jika kebahagiaan bukan berarti menghapus luka, melainkan mengubah cara kita memandangnya?
Kembali pada mekanisme coping yang dijelaskan oleh Jared Diamond dalam Upheaval, aku bertanya-tanya, mungkinkah kebahagiaan itu lebih mudah diraih oleh mereka yang memilih untuk membentuk identitas baru setelah krisis? Mungkin, mereka yang memilih untuk tumbuh dari luka-luka mereka, yang menjadikan masa lalu sebagai pelajaran alih-alih belenggu, lebih mampu menemukan kebahagiaan yang sejati.
Tapi tentu, ini bukan berarti kita harus memaksakan diri untuk berubah dalam sekejap. Setiap orang memiliki waktunya sendiri. Ada yang butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa menerima kenyataan, ada yang bisa bangkit lebih cepat. Tidak ada yang salah. Yang paling penting adalah, kita memberi ruang bagi diri sendiri untuk berproses, untuk mengenali apa yang sebenarnya kita butuhkan agar bisa merasa cukup, agar bisa merasa layak untuk bahagia.
Jadi, bolehkah aku bahagia?
Bagiku, jawabannya adalah iya. Dan bukan hanya boleh, tapi juga berhak. Setiap dari kita berhak untuk bahagia, terlepas dari seberapa kelam masa lalu kita, seberapa besar luka dan memori buruk yang kita bawa, atau seberapa dalam krisis yang pernah kita hadapi. Kebahagiaan itu bukan hadiah yang hanya diberikan kepada mereka yang hidupnya sempurna, tetapi sesuatu yang bisa kita ciptakan, sedikit demi sedikit, dengan menerima diri kita sendiri dan berani melangkah ke depan.
Mungkin, kebahagiaan itu bukan tentang menghapus masa lalu, tetapi tentang bagaimana kita memilih untuk hidup dengan cara yang baru, tanpa membiarkan masa lalu menentukan segalanya. Mungkin, kebahagiaan itu bukan tentang menemukan jawaban yang pasti, tetapi tentang terus bertanya dan mencari, dengan hati yang terbuka dan keberanian untuk tetap berjalan.
Selamat berproses.
Tulisan ini, untukmu, dan untukku.
Mari kita hadapi bersama.
Komentar
Posting Komentar