#ShortStory02 Selayang Gumam

"Saya bisa sampai hari ini, itu karena bantuan kamu," Agra mendongak dengan mata berkaca-kaca. 

"Katakan, apa yang harus saya lakukan untuk menebusnya," ucapnya lagi. Suaranya bergetar penuh haru. Suasana rumah sakit saat itu sepi. Puluhan pasien sudah kembali ke rumah di awal bulan Desember lalu. Beberapa di antaranya, kembali ke persinggahan terakhir. Agra adalah salah satu yang sudah siap kembali ke rumah. Ia dinyatakan sembuh dari kanker kelenjar getah bening stadium 3. Sebuah perjuangan yang tidak mudah. 

"Dengan kamu tetap hidup, dan tersenyum, itu sudah cukup bagi saya, Mas Agra." Alya tersenyum lebar. Menatap laki-laki di depannya yang masih pucat, belum sepenuhnya bugar. Tangannya terulur mengusap lembut puncak kepala Agra. Ia bergumam lirih,

"Saya tidak menginginkan apa-apa lagi, selain kamu tetap hidup," 

Agra menatap balik Alya. Mereka beradu pandang satu sama lain, menyalurkan seluruh haru dan bahagia atas bebasnya Agra dari rumah sakit. 

"Terima kasih, Alya." 

Alya membalas dengan anggukan lembut dan senyuman hangat. Ia lalu mendorong kursi roda Agra, menuju mobil, dibantu oleh beberapa perawat yang membawakan barang bawaan Agra. 

Mobil mungil Sigra milik Agra melesat membelah jalanan ibu kota yang cukup sepi dan sudah terbebas dari macet. Agaknya, gubernur taun ini berhasil melaksanakan programnya yang entah apa dan bagaimana, bisa menyulap kemacetan abadi ibu kota menjadi jalanan yang sunyi. 

Di dalam mobil, Agra menggenggam jemari Alya erat-erat. Matanya terpejam, bersender pada bahu Alya. Pandangan Alya menatap lurus ke depan. Dunia berjalan seperti biasanya, mengelilingi Alya yang tak seorangpun tahu apa yang ada di pikirannya saat ini. 

Sepulangnya dari rumah Agra, Alya segera memesan taxi online. 

"Jalan Gatsu, ya, pak, Dokter Sarah,".  

"Baik, mbak." 

Ia menengok ponselnya, jam sebelas malam. Masih cukup, pikirnya. Dadanya berdebar semakin kencang. Keringat dingin mulai bermunculan. Kegelisahan Alya nampaknya membuat supir taxi melirik ke arah spion tengah mobil. Tetapi supir itu tidak merasa cukup berhak untuk menanyakannya kepada Alya. Supir itu mempercepat laju mobilnya. 

"Jadi, gimana hari ini, Alya?" tanya Dokter Sarah setelah Alya muncul dari balik pintu ruang kerjanya.

Alya diam, tidak menjawab apapun selain sesenggukan sembari memeluk Dokter Sarah, yang merupakan teman dekatnya di sekolah dulu. 

"Dok, ketakutan saya masih ada," Alya membuka suara dengan terbata-bata. Dokter Sarah masih hening. Membiarkan Alya menceritakan segala perasaannya. 

"Tapi, hari ini saya sungguh bahagia dia menghirup udara segar lagi, saya sungguh bersyukur. Saya lega kembali setelah saya bahkan kesulitan untuk bernapas sebab cemas. Saya senang setelah sebelumnya saya menangis setiap malam. Saya turut diselamatkan sebab nyawa seseorang terdekat saya masih terselamatkan. Tuhan tidak jahat kali ini, Dok, pada saya." 

"Iya, Alya. Tuhan tidak jahat, tidak pernah jahat. Sekarang, minum air putihnya dulu ya," 

Alya menerima segelas air dingin, lalu meminumnya perlahan.

"Dok, apakah itu artinya, saya segera sembuh?" 

"Tentu, Alya. Kamu segera sembuh."

"Tapi, rasa takut itu?" 

"Alya, rasa takut tidak akan pernah hilang. Tetapi, kita bisa mengolahnya. Nanti, perlahan, kamu akan bisa mengolah takut menjadi keberanian."

Alya tersenyum lega. Waktu di ponselnya menyentuh angka 00.00. Tanggal dan tahun telah berubah. Ia menatap lama angka itu. Ia menggumam pelan, "Baiklah, aku kembali pada nomor satu. Tahun ini, aku akan sembuh!"  


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer