Satu - Basuhan Pertama
Raya bertemu dengan seseorang, gurunya ketika ia di sekolah dasar tiga belas tahun yang lalu. Mereka berbincang cukup lama di tengah ramainya tamu undangan. Beruntung tempat duduk mereka ada di pojok belakang sehingga tidak terlalu terganggu atau mengganggu.
"Dulu, ketika baru beberapa hari kelulusan SMA, aku depresi. Marah pada semua orang, sampai tidak sadarkan diri." Perempuan berusia 30 tahunan itu mulai membuka cerita. Raya memperhatikan baik-baik.
"Di tengah ramai pesta pernikahan kakakku, semua itu terjadi. Puncak dari aku yang tidak mampu lagi mengendalikan diri. Benar kata psikiaterku. Amarah, sakit, dan sedih yang ditumpuk bertahun-tahun akan menjadi bom waktu. Ketika api tersulut dan bisa menyentuh sumbu, tinggal menunggu hitungan detik ia akan meledak." Raya mendengarkan dengan seksama kata demi kata yang perempuan itu ucapkan. Pikirannya terpusat membayangkan hari itu, seolah ia turut berada di sana.
"Banyak sekali kenapa. Kenapa keluargaku begini, kenapa aku harus memulai lagi, kenapa dari sekian banyak ciptaan Tuhan, aku tidak diberi teman sama sekali, kenapa aku lahir di sini, kenapa aku tidak seperti mereka, kenapa aku tidak bisa melewati hari tanpa tangis, kenapa hidup rasanya melelahkan sekali, dan lain-lain." Tangannya terkepal. Raya melihatnya dengan jelas, tetapi raut wajahnya tidak berubah, biasa saja. Normal, pandangan matanya lurus menatapku.
"Aku terlalu fokus pada rasa sakit, sedih, dan duka. Aku selalu mencari objek untuk disalahkan atas apa yang aku alami di hidupku. Mencari penyebabnya, tanpa bisa memikirkan solusi. Muncul berbagai "seandainya" di kepala. Seandainya keluargaku tidak terpecah belah, mungkin hidupku akan lancar saja, misalnya. Padahal belum tentu juga." Ia tersenyum di akhir kalimat. Seolah meyakinkan Raya bahwa memang di dunia ini tidak ada yang pasti. Belum tentu.
"Kamu, seperti itu juga atau tidak?"
Tertampar. Pertanyaan tiba-tiba itu membuat mata Raya memanas. Jika saja tidak berkedip-kedip dan menahannya sekuat tenaga kelopak mata, mungkin air di dalam mata Raya sudah tumpah ruah. Dengan senyum yang amat tipis, Raya mengangguk lemah. Membenarkan.
"Aku sudah lama menduganya. Sebenarnya, semua itu karena satu rasa yang belum kita dapat: ikhlas. Dan sebelum kita mencapai ikhlas, terlebih dulu kita harus damai. Tentu bukan waktu yang sebentar untuk mendapatkan keduanya. Tapi tidak apa. Besok mungkin kita akan sampai." Senyumnya kembali merekah. Sudut hati Raya menghangat.
Peluk dan senyum menjadi penutup percakapan yang tidak di sengaja di tengah malam waktu itu. Perempuan itu pamit pulang, begitupula Raya. Berjalan menuju satu-satunya tempat ter-ramah saat ini: kamar tidur.
Ponsel Raya berdering tepat ketika ia duduk di atas kasur busa lusuh yang sudah nyaris kempes. Terpampang nama yang selama beberapa bulan ini menjadi tempat Raya berkeluh kesah. Bara. Ah, entahlah. Dunia amat lucu, ketika Raya baru saja menobatkan diri menjadi orang yang tidak diterima oleh siapa saja, tidak pantas untuk siapa saja, Bara hadir meyakinkan Raya bahwa Raya begitu berharga, dan selalu menenangkan Raya bahwa semua akan baik-baik saja. Satu kata yang selalu Bara salurkan setiap Raya cemas akan sesuatu yang tidak pasti: Gapapa.
Raya mengangkat telfonnya. Bercakap tentang berbagai hal, mulai dari membahas topik berat seperti sejarah perang dunia 2, sampai yang tidak berguna seperti kenapa tomat berwarna merah.
"Percayalah Raya. Aku tahu, semuanya memiliki satu kesimpulan yang sangat bulat: jangan menyerah, serahkan pada waktu, maka ia akan bekerja dengan sendirinya." Bara menambahkan.
"Contoh kecilnya, aku selama bertahun-tahun hanya melihat kamu dari jauh, membaca tulisan-tulisan indahmu yang ditujukan untuk orang lain. Melihatmu terseok-seok menyerahkan perasaanmu seutuhnya pada orang lain, waktuku untukmu dan waktumu untuknya."
Ucapan Bara menggantung. Raya masih menunggu kelanjutannya.
"Tapi aku tidak pernah kecewa dengan perlakuan semesta. Aku menyerahkan semuanya pada Sang Pengendali Waktu. Aku percaya, meski dari jauh, aku tetap memiliki peran di skenario hidupmu. Tuhan tetap memberiku peran, Raya. Meski awalnya kamu tidak mengetahuinya." Berkali-kali Raya mengehela nafas lega. Cerita Bara emang penyembuh yang sangat manjur.
"Nah, itulah gunanya waktu. Sabar. Hasilnya, sekarang kamu benar-benar di depanku, Raya. Waktu tidak sejahat itu."
Menjelang akhir percakapan, Bara mengatakan demikian.
Raya tersenyum. Ucap Bara di seberang telefon menampar sudut diri Raya yang selalu ingin bergerak cepat, seolah tidak menghargai waktu. Tidak memahami bahwa waktu memiliki dua jalur: cepat dan lambat. Keduanya akan membawa manusia pada titik sampai, titik temu, serta titik henti masing-masing.
"Iya. Terima kasih, sudah menemukanku, Bara." Jawab Raya pelan.
Percakapan ini kembali membawa ingatan Raya tentang hal-hal yang menyakitkan di usianya yang menginjak 19 tahun—waktu itu. Keluarga yang tak lagi utuh dan bahkan terpisah-pisah, riuh di dalam rumah yang seketika menjadi sunyi senyap, tawa yang hanya dipakai sebagai tameng, kisah klasik yang belum usai, maaf yang belum sempat terucap secara langsung, terima kasih yang masih menggatung, harap yang terurai lepas, dan berbagai kehilangan lain termasuk diri Raya sendiri.
Raya tersenyum kecut, mengingat betapa pesimisnya ia ketika melalui ini semua. Marah pada Tuhan, bertanya-tanya apa sebenarnya dosa terbesarnya sehingga tidak diizinkan untuk mempercayai sedetik saja bahwa ketakutan sebenarnya hanya ada di kepala. Sebab semua yang Raya alami, semua yang datang, semua yang Raya lakukan, semuanya adalah ketakutan yang sudah sejak kecil Raya pikirkan. Apa memang Tuhan sengaja menjawab "bagaimana kalau" yang banyak sekali itu? Jawaban Tuhan yang sesuai dengan apa yang Raya takutkan, membuat Raya heran dengan perlakuan Tuhan. Tapi Raya salah. Ia salah telah berprasangka buruk terhadap Tuhan. Itulah yang membuat Raya terjebak dalam rasa takut.
Bara mengakhiri percakapan di telefon. Sementara itu Raya membuka buku catatannya, tenggelam dengan pena hingga subuh menjemput malam.
Bandung, 25 September 2020
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti. Yang penting hari ini selesai. Maaf dan terima kasih tidak boleh lepas, sebab selain memiliki cepat dan lambat, waktu juga memiliki henti yang entah kapan akan terjadi.
Berdamailah, teman. Berdamailah dengan apapun yang telah lalu, bukan untuk dilupakan tetapi untuk diingat. Sebab manusia menjadi kosong tanpa ingatan. Dan sambutlah kedatangan yang baru. Sambutlah dengan senyum, sambutlah dengan rentangan tangan. Rengkuhlah apapun di depanmu yang membuatmu lebih berharga.
Terima kasih dunia. Terima kasih untuk tidak pergi meski mengetahui akulah badai yang amat riuh, akulah hujan yang amat deras, akulah panas yang amat menyengat. Terima kasih telah meyakinkan diriku bahwa aku pun bisa menjadi angin yang membawa sejuk—meski aku sendiri tidak yakin.
Iya, kita semua bisa menjadi sesuatu, asal kita mau.
Tertanda
Raya Baskarani,
Ditulis dalam ketenangan.
—Bersambung
ngena banget kata-katanya :v
BalasHapus