Dua - Angin

Pagi buta di hari Senin ini, jadwal pertama Raya adalah membersihkan kandang delapan kucing sekaligus memandikan mereka semua. Raya sudah seperti kakak bagi kucing-kucingnya. Raya tidak bisa makan sebelum kucing-kucingnya makan. Raya tidak sanggup pergi dari rumah sebelum memastikan kucing-kucingnya sedang bermain atau tertidur. Raya juga tidak akan tidur tanpa salah satu kucing tidur di sebelahnya. Bisa dibilang, teman Raya di rumah adalah kucing.

Sejam berlalu.  Raya sudah selesai dengan kucing-kucing. Ia kini tengah memotong-motong sayur untuk dibuat sayur sop. Terlintas percakapan dengan Bara tadi malam, Raya tersenyum. Ia tidak menyadari panci-panci memandangnya lega sebab sebelum ini Raya amat sulit hanya untuk sekedar melengkungkan bibir ketika sedang sendiri. Bara adalah dunia baru Raya. Tetapi masih terlalu asing. Hati Raya masih terasa dingin. 

Raya memiliki dua tempat favorit di rumahnya: kamar tidur dan dapur. Dua tempat itu bagi Raya adalah tempat paling menenangkan. Dapur merekam banyak kenangan bersama ayah dan ibunya semasa ia kecil. Ketika ia santai berpangku tangan, ibunya sibuk dengan tumis kangkung, sementara ayahnya menyalakan lagu Badai Pasti Berlalu, lagu andalan ayah saat itu.  

Kamar berukuran 5 x 5 meternya tersusun rapi, didesain sesuai dengan keinginan Raya. Apabila pintu dibuka, langsung terpampang jendela kaca besar transparan di seberang. Tempat tidurnya merangkap meja belajar. Raya cukup naik turun tangga kecil alumunium sebagai penghubung kasur dengan tempat untuk belajar yang ada di bawahnya. Jika Raya duduk di kursi belajar, ia menghadap langsung ke jendela kaca itu. Pemandangan dari kamar tidur Raya sangat menenangkan. Taman yang ada di depan rumah terlihat segar terlebih ketika matahari terbit atau tenggelam. Raya sering tertidur dengan membiarkan tirai lebarnya terbuka. Mengizinkan cahaya rembulan masuk menerangi ruangan itu. 

Dulu, kamar Raya tidak seluas sekarang. Kamar itu adalah gabungan dari kamar Raya dengan ruang baca yang ada di sampingnya. Raya malas bolak-balik kamar dan ruang baca, sehingga Raya kecil meminta ayahnya untuk menjebol dan menyatukan kedua ruangan itu. Alhasil, jadilah kamar Raya menjadi seluas sekarang. Kamar Raya terbagi menjadi beberapa spot. di sisi kanan dari pintu masuk, rak-rak buku berjejer dengan karpet tebal tergelar pasrah. Raya biasa menghabiskan waktu luangnya di sana tenggelam bersama tulisan. Sementara itu stand-stand lukisan setengah jadi terpajang di sisi kiri pintu masuk. Dinding di sisi kiri penuh dengan hasil imajinasi Raya yang sudah tertuang dalam bentuk lukisan. Melukis adalah hobi sekaligus "healing therapy" bagi Raya ketika kepalanya sedang penuh.  Tidak lupa teronggok manis iPod berwarna merah berisi musik-musik klasik mulai dari Schubert hingga Mozart. Kamar Raya bukan hanya termpat ternyaman bagi Raya, tetapi bagi siapapun yang pernah masuk ke sana. 

Bau harum sop buatan Raya tercium hingga membuat ibunya mendekat menggunakan kursi roda yang saat ini menjadi satu-satunya alat gerak sejak tiga tahun terakhir. 

"Masaknya sambil senyum-senyum mikirin apa, Raya?" tanya ibu Raya mendapati wajah putrinya sangat cerah. 

"Ibu tolong cicipin dulu, nih, sop buatan aku," Raya menyendok kuah sop, dikibas-kibaskan sebentar, lalu menyuapkannya kepada ibunya setelah yakin tidak terlalu panas.

"Ditanya malah nyelimur," protes ibu Raya sebelum akhirnya menerima suapan Raya. Raya terkekeh.

"Gimana, Bu? Enak?" tanya Raya. Ibunya tersenyum, menekan tombol di kursi roda lalu bergerak menuju sudut dapur tempat menyimpan bumbu-bumbu. Ibu Raya mengambil toples gula dan menaburkanya satu sendok teh ke dalam sop buatan Raya. 

"Enak, sayang. Tetapi alangkah lebih enak lagi kalau tidak terlalu asin. Kamu sudah siap menikah, ya?" Raya terkekeh lagi mendengar pertanyaan Ibunya. Ia cukup mengerti seleranya dan ibunya memang sedikit berbeda dalam hal rasa masakan. Raya lebih menyukai masakan yang cenderung asin, sedangkan Ibunya menyukai manis. 

Tetapi dalam hal lain seperti musik, film, hobi, hingga pakaian, Raya hampir menyerupai ibunya. Ibu Raya ketika remaja pun hanya mendengarkan satu genre musik saja yakni musik klasik. Tak heran jika Raya pun amat menyukai musik-musik seperti itu, jawabannya adalah dari ibunya. Kecintaannya terhadap lukisan juga ia dapatkan pertama kali dari ibunya. Raya ingat ketika ia diajak ibu ke pinggir jalan Asia Afrika untuk menemani ibunya bercorat-coret lincah, menyulap pemandangan gedung putih di depan matanya berpindah ke atas kanvas. Sejak itu ia senang menggambar dan bermain warna mengikuti sang ibu.

Sementara dalam hal pakaian, Raya hanya memiliki satu warna paling dominan di seluruh model pakaian yang ia punya: Abu-abu. Modelnya pun tidak terlalu bermacam-macam. Menurutnya, warna abu-abu adalah warna yang damai dan netral, tidak sesuci putih dan tidak segelap hitam. 

"Raya masih kecil, Bu. Masih menjadi Raya kecil yang selalu ingin meluk Ibu dan merengek minta permen Yupi," Raya merangsek berlutut di depan Ibunya. Ia mengulurkan tangannya menyentuh wajah Ibunya yang begitu cerah. Di usia yang memasuki lima puluhan, tidak adanya guratan di wajah Ibu Raya menunjukkan betapa awet muda perempuan itu. 

"Ibuku cantik sekali, ya," 

"Raya juga cantik sekali. Putri Ibu satu-satunya, bercahaya, penyayang, dan hangat seperti matahari," 

"Ibu berlebihan," Raya menggeleng, "Nama itu bukan untukku, tapi untuk orang-orang di sekelilingku, Bu. Orang-orang yang tidak pernah berhenti memberiku 'nyawa', kasih sayang, dan kekuatan. Tanpa aku minta, Tuhan menghadirkan mereka. Termasuk Ibu, rumah nomor satu di hidup aku," tambah Raya.

"Jadi, Ibu bukan lagi rumah satu-satunya, ya?" 

Raya tidak menjawab. Ia berjalan mengambil semangkuk sop lalu menuju meja makan. Ia kembali tersenyum lebar ketika tiba-tiba teringat Bara. Ibunya memang sosok ibu cerdas yang langsung memahami putrinya. Senyum Raya itu adalah senyum terindah yang pernah ibu Raya lihat. Ibunya tersenyum, memperhatikan putrinya menyiapkan sarapan untuk berdua. 

"Ayo, Bu. Kita sarapan dulu. Raya sebentar lagi berangkat," ajak Raya.

Ibu Raya mendekat ke meja makan, menekan tombol yang berfungsi untuk menaikkan ketinggian kursi roda supaya seimbang dengan tinggi meja makan. 

"Raya sayang, jangan menangis lagi karena seseorang, ya. Gadis kecil Ibu tidak boleh hancur lagi," 

Raut Raya menjadi pias. Ucapan ibunya membuyarkan pikirannya tentang Bara. Ketakutan itu hadir lagi. Segera Raya tepis, Bara tidak akan begitu, Bu. 

"Bu, doakan Raya segera pulih. Doakan Raya segera mampu menggenggam damai,"

"Selalu, sayang. Yang perlu Raya ingat, tidak perlu terburu-buru. Waktu akan membantu. Meskipun ia tidak menjamin semua bisa kembali seperti semula, tapi waktu tidak pernah ingkar janji bahwa semua akan tumbuh dan sembuh,"

Raya mengangguk tersenyum. Ibu Raya menatap lekat putri satu-satunya itu. Berharap dalam diam, semoga rumah baru Raya adalah rumah terbaik untuk kembali, dan bisa menggantikan dirinya nanti, kapanpun ketika sudah waktunya bumi memanggil ibu Raya untuk kembali. 

Jarum pendek sudah di angka 7. Rutinitas Raya beralih. Ia bersiap untuk berangkat menjalani hari. Raya adalah seorang mahasiswa tingkat akhir di perguruan tinggi swatsa di Bandung. Ia mengambil kelas karyawan di hari Sabtu dan Minggu. Sementara itu, hari Senin hingga Jumat ia habiskan di salah satu toko buku besar di Bandung. Bukan untuk membaca atau membeli buku, melainkan Raya bekerja di sana. 

Motor Scoopy Raya berhenti di parkiran toko buku. Raya menyapa beberapa rekannya di toko yang sudah lebih dulu tiba. Toko buku itu buka pukul sembilan dan pegawai diwajibkan tiba di sana sejam sebelum buka untuk bersiap. Raya ditempatkan sebagai kasir. Jumlah pengunjung hari itu cukup ramai. Ia bekerja seperti biasa, tidak ada masalah yang berarti.

Pukul tujuh malam, Raya selesai bekerja. Ia bergegas untuk pulang. Raya jarang mampir sekedar untuk berkumpul dengan rekan kerja misalnya, kecuali benar-benar ada kepentingan yang harus diselesaikan. Bagi Raya, waktu setelah bekerja adalah waktu untuk bersama ibu seluruhnya. 

Sesampainya di parkiran, mata Raya terpaku pada sosok laki-laki yang tengah duduk di atas jok motornya. Celana panjang berwarna coklat susu, kaos hitam, dan memegang semacam hoodie berwarna hitam di tangan kirinya. Sementara itu tangan kanannya sibuk dengan layar datar.  Pandangan mata Raya turun ke bawah, laki-laki itu mengenakan sepatu lokal yang sangat familiar di Bandung -yang juga jadi sepatu favorit Raya dan sedang ia kenakan juga saat ini. Menarik. 

Dengan sedikit ragu, Raya mendekati laki-laki itu. Hendak meminta izin untuk mengambil motor lalu melesat pulang. Jarak tiga meter, laki-laki itu menengok. Pandangan Raya dan laki-laki itu tepat bertumbuk. Hening. Angin malam kota Bandung terasa kencang, menerpa rambut Raya yang terurai. 

"Selamat malam, tuan putri," laki-laki itu membuka suara dengan senyum yang merekah. Raya masih diam, mencerna suara dan kalimat yang ia dengar. Sedetik kemudian, Raya menyadari laki-laki di depannya ini adalah dunia barunya. Bara. Raya berlari dan langsung menghambur ke arah Bara. 

"Aku bukan anak raja," jawab Raya sesaat setelah merangsek memeluk Bara. Air matanya entah kenapa mengalir sendiri. Lihatlah, kawan. Betapa sangat mungkin dua manusia yang telah lebih dari 10 tahun tidak bertatap muka, bahkan tidak saling kenal dengan baik, bisa dipertemukan semesta dengan tidak diduga-duga. 

"Kamu memang bukan anak raja, tapi cantikmu melebihi anak raja manapun di dunia," Bara berbisik pelan. Tangannya mengusap puncak kepala Raya. 

"Kamu bisa ngomong gitu, belajar dari mana?"

        "Belajar dari kamu,"

        "Kok aku?"

        "Iya, karena kamu, gaya bicaraku sudah seperti pujangga, kan?"

        "Yang romantis-romantis itu?"

        "Iya,"

        "Nggak nyambung, Bara,"

        "Nyambung dong, karna kamu buat aku itu seperti puisi, sangat indah dan menyejukkan,"

        Raya memukul lengan kanan Bara, gemas dibuatnya oleh laki-laki itu. Selalu saja bisa membuat jantung Raya berdebar-debar. Setelah sebelumnya hanya lewat suara, kini Raya bisa melihat dengan jelas wajah orang baik yang selama ini ada di hidupnya. 

"Kamu sadar nggak, malam ini anginnya lumayan kenceng," Raya menengok sebentar pohon-pohon di parkiran. Bara benar, Raya baru menyadarinya.

"Iya, memangnya kenapa?"

"Enggak apa-apa. Cuman mau kasih tau, kemarin aku titip rindu lagi ke angin buat kamu,"

"Tapi sudah dari taun lalu, Bara. Enggak pernah sampai." jawab Raya.

"Makannya, karena angin udah enggak bisa dipercaya, aku sendiri yang membawa rindu itu ke sini, tuan putri," 

"Setelah aku pikir-pikir lagi, cuma orang aneh yang ngirim rindu lewat angin,"

"Aneh tapi sayang, kan?"

Hening. Gerimis setipis salju turun. Angin masih kencang. Kacamata Raya memburam seiring rapatnya gerimis. Raya menghela napas. 

"Nggak apa-apa, Raya. Aku sabar, kok. Sabar sampai kamu menyayangiku," Ucap Bara memahami raut Raya yang tiba-tiba berubah. 

"Sampai kapan, Bara?"

"Sampai kapan pun."

"Gimana kalau sangat lama, Bara?"

"Ya aku sabarnya juga akan sangat lama, Raya,"

"Makasih, ya, untuk tetap di sini,"

"Apapun untukmu, Rayaku. Meskipun aku tidak pernah tau kapan hatimu sepenuhnya untuk aku, kamu masih mau senyum buat aku, itu sudah lebih dari cukup."

        Raya tersenyum. Menggenggam hangat tangan dingin Bara. 

        "Tapi kalau lebih cepet juga lebih baik si, jadi aku enggak kelamaan jatuh cinta sendirian." Celetuk Bara disertai tawa renyah. Raya hanya tersenyum memandang Bara yang seolah tidak punya keraguan sedikitpun.

Malam itu, Raya pulang naik angkot. Meningalkan motornya di toko buku, menitipkannya keada satpam. Ia menghabiskan satu jam perjalanan pulang bersama Bara. Menyusuri trotoar, berlari-lari mencari tempat berteduh ketika hujan tiba-tiba deras, dan berjalan santai lagi ketika mereda, beriringan berdua, dengan genggaman tangan yang tidak terlepas sejak di parkiran. 

Udara malam terasa dingin, angin berhembus kencang disertai rintik kecil gerimis. Di tengah jalan di dalam angkot, Raya teringat lagi pada sosok yang sudah dua tahun ini lenyap dari peredaran dunianya. Meninggalkan pesan terakhir yang memutuskan harapan Raya.  Saka, sudah aku turuti maumu. Aku akan bahagia dengan orang jauh lebih menghargai keberadaanku ketimbang kamu. 

Semesta mengakhiri perjumpaan Raya dengan Bara. Setiba di rumah, Bara bertemu Ibu Raya, memperkenalkan diri, dan ngobrol sebentar, lalu pamit pulang ke penginapan. Raya mengantar Bara sampai ke gerbang. Bapak ojek online sudah menunggu. 

"Raya, kamulah rumahku. Jangan pernah menutup pintu lagi, ya. Sampai jumpa besok."

Raya mengangguk, tersenyum. Melambaikan tangan. Sesaat kemudian, Bara menghilang. 

Disisi lain, ada ketakutan Raya yang masih tersembunyi. Tapi bagaimana jika kamu tidak benar-benar pergi dari kepalaku, Saka? Apa yang harus aku lakukan untuk tidak melukai Bara?


Bersambung..........

Komentar

Postingan Populer