Budak Media Sosial
Naasnya, hal yang lebih bikin lelah itu adalah ketika aku sadar bahwa aku pun ikut jadi bagian dari semua itu. Ikut memoles cerita, turut serta mengedit hidup agar terlihat lebih menarik dari kenyataannya. Pernah nggak sih, ngerasa kayak gitu juga? Post sesuatu yang niat awalnya cuma pengen berbagi, tapi tiba-tiba jadi kepikiran: “Eh, caption-nya kurang keren nggak ya?” atau “Kelihatan alay nggak ya?” bahkan sampai: “Kalau dia nggak lihat, ngapain aku posting?”
Padahal sebelumnya aku nggak kayak gitu. Tapi ya, dunia maya kadang memang menjerumuskan pelan-pelan. Tanpa sadar, aku jadi membentuk versi diriku yang 'ideal' buat konsumsi orang lain. Versi yang ceria, produktif, puitis, kadang filosofis, kadang lucu... padahal bisa jadi saat itu aku lagi kosong banget. Kosong dan lelah selelah-lelahnya, tapi tetap merasa harus tampil baik.
Dan makin ke sini, makin terasa lelahnya. Bukan cuma karena ngelihat pencapaian orang lain yang seolah tanpa usaha—padahal pasti ada yang dikorbankan juga sih, aku tahu—tapi karena aku ngerasa makin jauh dari diriku sendiri. Makin sering tampil, makin nggak kenal sama siapa sebenarnya yang ada di balik semua itu. Aku pun mulai muak pada betapa mudahnya jari-jari itu bergulir mengomentari suatu postingan dengan hujatan keji, padahal yang dia komentari adalah perihal pilihan hidup masing-masing dengan dalih "sekedar mengingatkan". Belum lagi penilaian-penilaian ringan tentang.. ah. Banyaknya. Benar yang dikatakan Kadam Sidik (salah satu influencer di TikT*k, seorang ulama muda dari Madura), jangan pernah percaya pada sosial media dan segala brandingnya.
Maka, akhir-akhir ini aku mulai coba pelan-pelan mundur (lagi, sebelumnya sudah pernah melakukan ini dan hidupku aman tenteram damai, tetapi karena ingin dilihat oleh satu dua orang, kadang hal itu luput dan kembali terbawa arus). Memangnya, setelah dilihat, terus apa? Buat apa? Apa lagi? (ucap Rika Amalia). Sekali lagi, Ci, pelan-pelan.. Kadang lelah juga nih mengingatkan diri sendiri agar pelan-pelan dan jangan terburu-buru. Mulai dari matikan notifikasi, batasi waktu scrolling, bahkan kadang uninstall aplikasinya sebentar biar bisa tarik napas. Aku juga mulai belajar buat nggak merasa bersalah kalau nggak update apapun. Paling ya, jaga api mah gapapa lah, masih oke. Senggol sekali, senggol dua kali. Hehe. Dan dengan begitu, dunia tetap berputar kok, walau aku nggak posting apa-apa hari ini. Dan ternyata, hidup terasa jauh lebih nyata ketika aku berhenti membandingkan.
Ada satu kutipan yang baru saja aku baca dari tulisan salah seorang mahasiswa (Sayyid Muhamad namanya), begini bunyinya:
"Ketulusan itu jarang muncul di ruang yang penuh kamera. Seringkali, ketulusan justru muncul di tempat-tempat yang tidak kita unggah—di dapur yang berantakan, di ruang tamu yang sepi, di malam-malam panjang yang hanya ditemani dengkur. Kalau di layar, lebih baik anggap saja hiburan. Jangan baper, jangan silau. Tertawa secukupnya, lalu lanjut hidupmu yang nyata."
Aku harap, suatu hari nanti, kalau pun aku kembali posting atau muncul di dunia maya, itu bukan karena ingin terlihat hidup... tapi karena aku memang sedang benar-benar hidup. Benar-benar jadi manusia yang.. apa.. adanya. :) Ahahahay.
Salam pramuka!
Komentar
Posting Komentar