Budak Media Sosial

Hari Jumat bagiku bukan hari yang pendek, tetapi justru hari yang paling panjang. Selain karena kepulangan yang bertambah tigapuluh menit, Jumat juga tampaknya menjadi ancang-ancang dalam menyambut akhir pekan (yang katanya libur itu). Apa yang akan dilakukan di hari Sabtu dan Minggu ya? Rencana-rencana apa yang menarik untuk diceklis? Manusia memang unik. Kadang, saking sibuknya, mereka begitu menanti-nanti akhir pekan. Tetapi ketika sudah sampai di akhir pekan, tetap saja memikirkan rencana walau rencananya adalah tidak melakukan kesibukan apa-apa.

Kali ini, yang sedang sering menggangguku adalah rasa lelah. Lelah sekali. Lelah yang, tidak bisa dijelaskan dengan penggambaran konkret. Kamu mau paksa untuk berhenti bergulir di rasa lelah itupun, nggak semudah itu. Kamu mau menyuruhku tidur tepat waktu dan istirahatkan kepalamu, juga nggak semudah itu. Iya, sulit kalau belum paham penyebabnya. Atau minimal sudah mencapai "oh, okey, cukup,". 

Aku membicarakan hal ini pada salah seorang teman. Ternyata, ia pun tengah merasakan hal yang sama, atau bahkan sudah melewati fase itu. Lelah dengan manusia dan segala keributan, kesibukan, keramaian, dan pertikaiannya. Ini semacam, merasakan kekosongan yang tak kunjung terisi. Sekeras apapun kamu mencoba untuk mengisi, tetap saja akan datang lagi rasa kosong itu. Hampa. Nggak ada penuhnya, gitu rasanya. Tetapi singkat cerita dan kabar baiknya, kini jam tidurku mulai pulih sebagaimana manusia normal. Ya, minimal sebelum tengah malam, mataku sudah lelah dan kepalaku mulai merebah.

Ternyata, dan faktanya, lelah itu nggak cuma datang dari dunia nyata. Dunia maya juga punya andil besar dalam menyumbang rasa lelah yang nggak kelihatan tapi terasa banget. Belakangan ini aku mulai sadar (lagi), betapa bisingnya media sosial. Bukan cuma karena notifikasi yang nggak habis-habis atau konten yang terus mengalir tanpa akhir, tapi juga karena banyak hal yang sebenarnya nggak aku butuhin, tapi terus dipaksa muncul di hadapanku. Kayak lagi duduk tenang, eh tiba-tiba disodori ratusan cerita, senyum-senyum maya, pencapaian orang lain, atau sekadar celoteh yang... ya gitu, random tapi bikin mikir. Yang tadinya hanya untuk hiburan, justru semakin menghadirkan rasa lelah yang tiada akhir.

Naasnya, hal yang lebih bikin lelah itu adalah ketika aku sadar bahwa aku pun ikut jadi bagian dari semua itu. Ikut memoles cerita, turut serta mengedit hidup agar terlihat lebih menarik dari kenyataannya. Pernah nggak sih, ngerasa kayak gitu juga? Post sesuatu yang niat awalnya cuma pengen berbagi, tapi tiba-tiba jadi kepikiran: “Eh, caption-nya kurang keren nggak ya?” atau “Kelihatan alay nggak ya?” bahkan sampai: “Kalau dia nggak lihat, ngapain aku posting?”

Padahal sebelumnya aku nggak kayak gitu. Tapi ya, dunia maya kadang memang menjerumuskan pelan-pelan. Tanpa sadar, aku jadi membentuk versi diriku yang 'ideal' buat konsumsi orang lain. Versi yang ceria, produktif, puitis, kadang filosofis, kadang lucu... padahal bisa jadi saat itu aku lagi kosong banget. Kosong dan lelah selelah-lelahnya, tapi tetap merasa harus tampil baik.

Dan makin ke sini, makin terasa lelahnya. Bukan cuma karena ngelihat pencapaian orang lain yang seolah tanpa usaha—padahal pasti ada yang dikorbankan juga sih, aku tahu—tapi karena aku ngerasa makin jauh dari diriku sendiri. Makin sering tampil, makin nggak kenal sama siapa sebenarnya yang ada di balik semua itu. Aku pun mulai muak pada betapa mudahnya jari-jari itu bergulir mengomentari suatu postingan dengan hujatan keji, padahal yang dia komentari adalah perihal pilihan hidup masing-masing dengan dalih "sekedar mengingatkan". Belum lagi penilaian-penilaian ringan tentang.. ah. Banyaknya. Benar yang dikatakan Kadam Sidik (salah satu influencer di TikT*k, seorang ulama muda dari Madura), jangan pernah percaya pada sosial media dan segala brandingnya.

Maka, akhir-akhir ini aku mulai coba pelan-pelan mundur (lagi, sebelumnya sudah pernah melakukan ini dan hidupku aman tenteram damai, tetapi karena ingin dilihat oleh satu dua orang, kadang hal itu luput dan kembali terbawa arus). Memangnya, setelah dilihat, terus apa? Buat apa? Apa lagi? (ucap Rika Amalia). Sekali lagi, Ci, pelan-pelan.. Kadang lelah juga nih mengingatkan diri sendiri agar pelan-pelan dan jangan terburu-buru. Mulai dari matikan notifikasi, batasi waktu scrolling, bahkan kadang uninstall aplikasinya sebentar biar bisa tarik napas. Aku juga mulai belajar buat nggak merasa bersalah kalau nggak update apapun. Paling ya, jaga api mah gapapa lah, masih oke. Senggol sekali, senggol dua kali. Hehe. Dan dengan begitu, dunia tetap berputar kok, walau aku nggak posting apa-apa hari ini. Dan ternyata, hidup terasa jauh lebih nyata ketika aku berhenti membandingkan.

Ada satu kutipan yang baru saja aku baca dari tulisan salah seorang mahasiswa (Sayyid Muhamad namanya), begini bunyinya:

"Ketulusan itu jarang muncul di ruang yang penuh kamera. Seringkali, ketulusan justru muncul di tempat-tempat yang tidak kita unggah—di dapur yang berantakan, di ruang tamu yang sepi, di malam-malam panjang yang hanya ditemani dengkur. Kalau di layar, lebih baik anggap saja hiburan. Jangan baper, jangan silau. Tertawa secukupnya, lalu lanjut hidupmu yang nyata."

Aku harap, suatu hari nanti, kalau pun aku kembali posting atau muncul di dunia maya, itu bukan karena ingin terlihat hidup... tapi karena aku memang sedang benar-benar hidup. Benar-benar jadi manusia yang.. apa.. adanya. :) Ahahahay.


Salam pramuka!

Komentar

Postingan Populer