“KREATIF: JALAN MENJADI MANUSIA SEUTUHNYA”
“Guru itu harus kreatif,”
Begitu kalimat yang telah ‘ribuan’ kali diperdengarkan oleh banyak orang. Dalam kata kreatif ini, tersimpan banyak pertanyaan yang masih menggantung dalam pikiran saya. Kreatif itu apa? Pandai membuat kerajinan tangan? Jago menggambar? Bisa menciptakan APE yang out of the general? Bisa mengelabui anak-anak agar berhenti tantrum? Dan banyak lagi dugaan-dugaan sempit saya terhadap kata kreatif.
Mata kuliah Pengembangan Kreativitas Guru Anak Usia Dini membawa saya pada pandangan baru tentang definisi dari kreatif itu sendiri. Impresi saya terhadap kreatif ini tertumbuk pada cara dan gaya mengajar dosen pengampu mata kuliah ini. Biar saya ceritakan gambarannya.
Mahasiswa (dalam hal ini saya sendiri) biasanya memiliki fokus yang terpecah belah, tak terkecuali di dalam kelas. Daya kesadaran diri saya yang cukup lemah ini terkadang membuat saya gagal fokus dalam mengikuti perkuliahan. Ketika dosen tengah menerangkan materi dengan gaya klasik satu arah, saya ketungkul memikirkan mau makan apa nanti, membayangkan kasur di kos yang agaknya terasa sangat nyaman, menunggu paket online yang belum kunjung datang, atau sibuk menghindari pesan-pesan berisi perintah yang sebenarnya tidak boleh dihindari. Ketika saya dalam kondisi demikian, hati kecil saya sebenarnya butuh pertolongan. Saya butuh sosok dosen yang mampu membantu mengembalikan titik fokus saya: yakni pada materi perkuliahan. Mata kuliah ini salah satu yang dapat setidaknya sedikit membantu saya untuk mengingat diri saya secara sadar di momen saat itu juga. Dari situ pula, saya paham bahwa kreatif bukan sekedar pandai membuat kerajinan tangan, menggambar, membuat alat permainan edukatif yang menyenangkan, atau mampu menghentikan anak tantrum. Kreatif lebih dari itu semua, dan keempat contoh hal itu adalah hasil dari sebuah kreativitas.
Ketika dosen-dosen lain datang ke kelas dengan ritual wajib membuat makalah, Pak Asef memilih untuk mengarahkan mahasiswa membuat mindmapping. Ketika dosen-dosen lain memilih untuk menjadi pihak yang selalu dicari, Pak Asef memilih menjadi sosok yang berusaha untuk ‘mencari-cari’ mahasiswa agar rajin mengerjakan skripsi. Ketika dosen-dosen lain memilih duduk dengan rapi di meja dosen sembari menerangkan materi, Pak Asef memilih duduk dengan membalikkan kursi seperti sedang berada di tongkrongan sambil menerangkan betapa mengkhawatirkannya kondisi negeri ini. Kami benar-benar disuruh mikir! Dari situlah saya tidak merasa ada gap yang terlalu jauh antara Pak Asef sebagai dosen dan kami sebagai mahasiswa. Untuk bertukar pendapat pun, tetap asik. Menurut saya pribadi, ini hal yang asik dan menarik (walau menurut pandangan lain mungkin berbeda). Tetapi poin utamanya adalah, saya tidak pernah mengantuk ketika mata kuliah ini. Itu artinya, saya sadar pada momen tersebut. Lalu di mana letak kreativitasnya?
Dalam buku Growing Up Mindful, Christopher Willard mengatakan, di masa depan, akan dibutuhkan manusia-manusia yang mampu memecahkan masalah dengan kreatif, berpikir kritis, dan penuh kasih sayang. Di sini, kata kreatif melekat pada cara memecahkan masalah. Itu artinya, hemat saya, kreatif sangat berkaitan dengan pola pikir. Selain itu, kreatif jika dilihat dari kacamata gaya mengajar Pak Asef, juga dapat berarti sebuah keberanian untuk berbeda dari yang lain. Keberanian untuk tampil beda menunjukkan bahwa seseorang paham bahwa tidak semua hal harus sesuai alur yang sudah ada atau harus sama dengan orang lain, dalam kondisi dia sadar konsekuensi dan solusinya. Itulah kreativitas.
Selanjutnya, kreativitas dalam mata kuliah ini kemudian dikembangkan dalam konteks kreativitas guru dalam meningkatkan kecerdasan anak. Dalam hal ini, kecerdasan yang dimaksud merujuk pada kecerdasan majemuk (multiple intelligence) hasil gagasan Howard Gardner yang meliputi 9 kecerdasan yakni: kecerdasan bahasa, kecerdasan naturalis, kecerdasan kinestetik, kecerdasan musikal, kecerdasan visual-spasial, kecerdasan logika-matematika, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan eksistensial. Selama enam kali pertemuan, kami telah mempelajari 4 jenis kecerdasan: kecerdasan bahasa, kecerdasan naturalis, kecerdasan kinestetik, kecerdasan musikal.
Hal yang menarik dalam pembahasan materi adalah tempat duduk yang dibuat melingkar‒hal yang sama yang dilakukan oleh Ibu Wahyu Purwasih dan Ibu Siti Khasiroh di semester sebelumnya. Bukan tanpa sebab, tempat duduk seperti ini meminimalisir mahasiswa-mahasiswa yang doyan ngumpet seperti saya. Semua dapat terlihat dengan jelas, mimik wajah setiap orang, sikap duduk, siapa saja yang sedang mengantuk, atau bahkan yang ngobrol sepanjang perkuliahan. Meski demikian, hal-hal tersebut tetap bisa dikondisikan dengan tempat duduk yang melingkar. Fakta menariknya, manusia akan dapat mengeluarkan pemikiran terbaiknya ketika mereka duduk melingkar dengan sesamanya, sehingga tercipta hubungan dan kepercayaan yang kuat. Duduk melingkar dengan sesama manusia memiliki banyak manfaat yang mendukung keluarnya pemikiran terbaik seseorang. Konfigurasi fisik ini menciptakan lingkungan yang mendukung dialog yang terbuka dan mendalam, di mana semua peserta diperlakukan setara. Dengan duduk bersama dalam posisi lingkaran, setiap orang dapat melihat wajah orang lain dengan jelas, memudahkan komunikasi non-verbal seperti ekspresi wajah dan bahasa tubuh. Hal inilah yang membuat partisipan dapat lebih memahami emosi dan reaksi satu sama lain, yang pada gilirannya memperkuat ikatan antara mereka. Suasana yang intim dan inklusif ini juga mendorong partisipasi aktif dari semua anggota. Ketika individu merasa didengarkan dan dihargai, mereka cenderung lebih terbuka dalam berbagi ide dan perspektif mereka. Lingkungan seperti ini juga mendukung pertukaran pengalaman yang lebih kaya, yang dapat memberikan sudut pandang baru dan kreatif. Sebagai hasilnya, diskusi dalam mata kuliah ini sering kali menghasilkan solusi yang inovatif dan ide-ide yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.
Salah satu ide-ide dan diskusi yang cukup membuat suasana kelas ramai saling bertukar pendapat adalah ketika ada pertanyaan, “apa dampak negatif kecerdasan naturalis bagi anak usia dini?” Saya termasuk salah satu yang menyumbangkan pendapat yang menyertakan adanya kasus teror bom yang terjadi di salah satu negara di Eropa. Saat itu, dari banyaknya pendapat di kelas, Pak Asef justru mempertanyakan kembali, “apakah benar ada dampak negatif dari suatu kecerdasan dalam diri manusia‒dalam hal ini anak usia dini?”. Pertanyaan itu membuat suasana kelas hening dan terdengar sayup-sayup ‘oh iya ya, memangnya ada?’.
Sampai detik ini, saya pun masih mencari jawabannya. Apakah benar ada dampak negatif dari suatu kecerdasan, terutama dalam hal ini kecerdasan naturalis pada anak usia dini? Pertanyaan ini memang tidak mudah dijawab karena umumnya, kita cenderung melihat kecerdasan sebagai hal yang positif dan tidak terlalu memikirkan kemungkinan adanya dampak negatif.
Namun, setelah merenung dan mendengarkan berbagai pendapat yang muncul, saya pun mulai mempertimbangkan sisi-sisi lain dari kecerdasan naturalis pada anak usia dini. Kecerdasan naturalis adalah kemampuan seseorang untuk mengenali dan mengelompokkan makhluk hidup, lingkungan, serta fenomena alam. Anak-anak dengan kecerdasan ini biasanya sangat tertarik pada alam dan suka mengeksplorasi lingkungan sekitar.
Sebenarnya, dari beberapa artikel yang saya telusuri, belum ada bahasan tentang dampak negatif kecerdasan naturalis. Namun, hemat saya, dampak negatif yang timbul itu bukan dari kecerdasan naturalis itu sendiri, melainkan kekeliruan dalam mengelola kecerdasan tersebut. Misalnya, ketika anak terlalu terpaku pada eksplorasi alam sehingga mengabaikan aspek-aspek lain dalam kehidupannya. Anak yang sangat fokus pada studi alam dapat berpotensi mengabaikan aspek sosial jika tidak diimbangi dengan kebiasaan-kebiasaan yang bersifat interaksi sosial, seperti berinteraksi dengan teman sebaya atau melibatkan diri dalam kegiatan sosial. Hal inilah yang akhirnya bisa menyebabkan kurangnya keterampilan sosial yang penting untuk perkembangan anak.
Selain itu, ketertarikan yang berlebihan pada alam juga bisa menyebabkan anak menjadi terlalu sensitif terhadap isu-isu lingkungan, seperti perubahan iklim atau kerusakan habitat. Jika tidak dikelola dengan baik, kekhawatiran ini bisa membuat anak merasa cemas atau khawatir berlebihan terhadap masa depan planet kita. Dalam jangka panjang, hal ini mungkin mempengaruhi kesejahteraan mental anak.
Dengan demikian, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa dampak negatif ini sebenarnya lebih terkait dengan bagaimana kecerdasan naturalis direspons oleh lingkungan sekitar anak, daripada kecerdasan itu sendiri. Jika orang tua dan pendidik mampu membimbing anak dengan baik, kecerdasan naturalis justru bisa menjadi modal yang kuat bagi anak untuk menjadi individu yang peduli lingkungan dan memiliki wawasan luas. Di sisi lain, ada banyak sekali manfaat dari kecerdasan naturalis pada anak usia dini. Mereka dapat menjadi peneliti kecil yang terus ingin tahu tentang dunia di sekitar mereka. Kecerdasan ini juga dapat membantu anak usia dini untuk mempersiapkan generasi penerus bangsa yang cinta dengan alam sekitar.
Dari sinilah, untuk mengurangi kemungkinan dampak negatif, peran orang tua dan pendidik sangat penting. Mereka dapat membantu anak menyeimbangkan minat pada alam dengan aspek-aspek kehidupan lainnya, seperti mengajarkan keterampilan sosial dan menjaga keseimbangan emosi. Misalnya, ketika anak menunjukkan minat yang besar pada alam, orang tua bisa mendorong anak untuk berbagi pengetahuan tersebut dengan teman-teman mereka, atau mengajak anak berpartisipasi dalam kegiatan komunitas yang terkait dengan pelestarian lingkungan.
Melalui diskusi ini, saya merasa pertanyaan Pak Asef telah membuka cakrawala baru dalam diskusi mata kuliah ini. Walaupun kecerdasan naturalis pada anak usia dini memiliki potensi dampak negatif jika keliru dalam pengelolaanya, hal tersebut bisa diatasi dengan pendekatan yang tepat dari orang tua dan pendidik. Sebagai gantinya, kecerdasan ini dapat menjadi landasan bagi anak untuk tumbuh menjadi individu yang bijak, peduli, dan memiliki wawasan luas tentang alam dan lingkungan.
Di kesempatan lain, diskusi mengarah pada pertanyaan seputar kecerdasan musik anak usia dini. Dalam topik kecerdasan musikal, kelas ramai memperdebatkan seputar masalah di lembaga pendidikan anak usia dini yang sama sekali melarang penggunaan alat musik, bahkan melarang bertepuk tangan. Sejujurnya, saya baru mengetahui hal ini dan cukup terkejut. Pasalnya, anak usia dini (menurut gambaran saya), memiliki dunia yang ‘ramai’, menyenangkan, dan penuh dengan gerak. Lalu bagaimana jika musik (sebagai salah satu sumber keramaian, kesenangan, dan pengiring gerak anak) justru dilarang di lembaga pendidikan anak usia dini? Bagaimana anak bisa hidup tanpa musik? Baiklah, mungkin pertanyaan saya yang terakhir terlalu ekstrem. Tetapi coba bayangkan, bukankah hampir di setiap tempat (di zaman sekarang) selalu ada potensi musik berbunyi? Di mall, di pasar, di terminal, di stasiun, di pinggir jalan, tetangga sebelah, di masjid bahkan ada musik rebana.
Pertanyaan itu hanya bersarang di dalam kepala saya. Beberapa rekan berpendapat bahwa kecerdasan setiap anak berbeda-beda, begitu pula gaya belajar anak yang juga berbeda-beda tergantung pada pengaruh bawaan atau pengaruh lingkungan. Barangkali, ada yang menyukai musik, ada yang tidak. Jadi itu adalah hak setiap orang‒apalagi jika sudah bersinggungan dengan syariat agama yang dipercayai. Tetapi, pertanyaannya (lagi) adalah, apakah ada orang yang benar-benar tidak menyukai musik? Pertanyaan ini lagi lagi membuat suasana kelas cukup hening dengan beberapa sayup-sayup bisik mahasiswa. Begitulah proses kreatif yang diajarkan oleh dosen pengampu mata kuliah Pengembangan Kreativitas Guru Anak Usia Dini. Terus bertanya. Bertanya adalah kreatif. Kreatif adalah berpikir.
Aku berpikir, maka aku ada. ‒Rene Descartes.
REFERENSI
Christopher Willard. Growing Up Mindful. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2022.
Firdausyi, A N, and L Marlisa. “Implementasi Kecerdasan Naturalis Pada Anak Dalam Tema Belajar ‘Aku Cinta Indonesia.’” … Nasional Penelitian Dan … 4 (2022): 69–75. https://prosiding.ummetro.ac.id/index.php/snppm/article/view/62%0Ahttps://prosiding.ummetro.ac.id/index.php/snppm/article/download/62/61.
Juniarti, Y. “Peningkatan Kecerdasan Naturalis Melalui Metode Kunjungan Lapangan( Field Trip) (Penelitian Tindakan Di Kelompok BPAUD Terpadu Bintuhan Bengkulu Tahun 2015).” Pendidikan Usia Dini 9, no. 2 (2020): 272. http://journal.unj.ac.id/unj/index.php/jpud/article/view/3505.
Mufidah, Luk Luk Nur. “Memahami Gaya Belajar Untuk Meningkatkan Potensi Anak.” Martabah: Jurnal Perempuan Dan Anak 1, no. 2 (2017): 248.
Nehyba, Jan, Libor Juhaňák, and Jakub Cigán. “Effects of Seating Arrangement on Students’ Interaction in Group Reflective Practice.” Journal of Experimental Education 91, no. 2 (2023): 249–77. https://doi.org/10.1080/00220973.2021.1954865.
Syarifah, Syarifah. “Konsep Kecerdasan Majemuk Howard Gardner.” SUSTAINABLE: Jurnal Kajian Mutu Pendidikan 2, no. 2 (2019): 176–97. https://doi.org/10.32923/kjmp.v2i2.987.
Komentar
Posting Komentar