Musik, Lukisan, dan Kamar Depan
Tiga hari telah berlalu, dan ketiga-tiganya libur tanpa ada jadwal apapun. Bingung? Tentu. Kekosongan memang terkadang menjadi sesuatu yang dilematis bagi saya. Kadang, saya sengaja mengharapkan kekosongan. Tetapi sekalinya dihadapkan dengan kekosongan yang nyata, saya terpuruk, terkungkung dalam njelimetnya dunia overthinking yang kata Gen Z itu sudah jadi makanan setiap malam. Halah, terlalu meromantisasi itu namanya!
Dalam upaya melewati masa-masa kosong itu, saya menemukan tiga hal yang membuat saya sedikit hidup dalam kekosongan itu: musik, lukisan, dan kamar depan. Sedikit throwback ke dua bulan yang lalu, saya pindah ke kamar depan gara-gara makhluk jahiliyah yang tiba-tiba muncul di kamar lama saya. Saya beberapa kali menemukan mereka di dalam kamar, bahkan hampir ketibanan tepat di atas kepala. Untung saja, hal itu tak terjadi. Makhluk itu jatuh tepluk tepat di atas laptop saya. Hiih, menjijikan sekali. Andaikan jatuh di atas kepala saya, mungkin saya harus keramas sampai 7 kali! Hehehe. Bahkan, teman kos saya saat itu yang turut menyaksikan sampai berpikir ada yang mengirim santet ke saya. Wah, sungguh tak patut. Saat itu, saya langsung menghubungi cucu yang punya kos, diperiksalah, dan katanya di atas plafon ada bangkai tikus. Keesokan harinya, saya dan teman saya pindah ke kamar depan, sambil menunggu kamar lama diperbaiki.
Kamar depan sebenarnya terbilang kecil jika dibandingkan kamar lama, hanya sekitar 2,5 x 2,5 m, sementara kamar lama saya sekitar 3 x 3 m. Walaupun begitu, tak masalah, masih cukup untuk ditinggali 2 orang. Kasur kami tidak besar-besar amat, lemari kami juga kecil. Barang kami tak terlalu banyak. Yang paling penting, kamar itu ada jendelanya! Saya sangat senang, hehehe. Tapi betul lho, sirkulasi udara itu penting banget buat tidur yang berkualitas. Saya merasakan perbedaannya.
Di kamar itu, selama tiga hari, saya berkutat dengan 2 kanvas berukuran 40x40 cm, dan 2 kanvas 25x25 cm. Saya tengok stok cat akrilik saya, ternyata sudah kosong semua. Saya pun bergegas ke Popul*r (orang Purwokerto mungkin banyak yang tahu), toko alat tulis yang cukup besar di jalan S. Parman. Biasanya, saya stok cat dari toko oren, tetapi sering zonk karena tergoda harga 3000 per 10ml cat. Murah banget, tapi ya, catnya kayak cat campuran air kobokan. Nah, saya menemukan harta karun di Popul*r (atas rekomendasi teman saya), dengan harga 3000 rupiah saja, cat yang saya dapat sungguh cukup untuk digunakan melukis. Pokonya lope-lope banget deh bagi pemula seperti saya. Termasuk buat tukang parkir di sana yang ramah banget dan murah senyum. Hehehe. Duh, kok jadi kaya iklan endorsement, sih!
Setelah stok cat aman, saya mulai melukis. Nah, beberapa lukisan saya sebelumnya kebanyakan bertema laut. Entah kenapa, saya sangat menyukai laut (untuk dilukis). Rasanya menenangkan, apalagi ditemani alunan Lagu Ibu, Gardika Gigih, atau Banda Neira, Langit dan Laut. Bagi saya, melukis membuat saya merasa 'berarti' di hari-hari tanpa jadwal kuliah atau sekolah literasi misalnya. Kadang, saya merasa apa yang tidak bisa saya utarakan, bisa saya atasi dengan melukis. Saya termasuk orang yang tidak pandai memahami emosi saya sendiri, sehingga terkadang kesulitan untuk memberi tahu orang lain apa yang sebenarnya saya rasakan. Maka, melukis ini menjadi salah satu art therapy bagi saya, untuk memahami sekaligus meredam emosi dalam diri saya (akhir-akhir ini). Walau masih tetap kesulitan. Tetapi minimal saya bahagia, saya senang ketika kamar saya saat ini diisi dengan kanvas-kanvas di temboknya. Nah, saya juga mau berterima kasih juga pada Mbah Sol, yang sudah menyediakan kotak-kotak kayu di dinding kos, sebab bisa untuk temangkring kanvas-kanvas saya. Saya tak perlu repot-repot lagi memasang paku atau ditumpuk dipojokkan. Matur nuwun, Mbah. Hehehe.
Melukis membuat pikiran saya hanyut dalam sekotak kanvas seiring dengan goresan cat yang menyapu di atasnya. Ketika saya melukis laut, misalnya, pikiran saya justru tidak memikirkan laut itu sendiri, tetapi penuh dengan pertanyaan dan jawaban ke diri saya sendiri, sebuah refleksi untuk mengetahui apa yang telah saya lakukan, mana yang keliru, mana yang perlu diperbaiki, mana yang membuat saya nyaman, mana yang seharusnya dibuang, dan sebagainya. Dan seringkali itu membuat saya lebih tenang, lebih mendengar suara hati. Itulah hal yang baru saya sadari akhir-akhir ini.
Saya teringat, ketika pertama kali ayah saya membelikan saya cat untuk melukis, saya ingat betul merk Phoenix seharga 75.000. Mungkin sekitar tahun 2015, ketika saya baru masuk SMA. Saya sangat senang. Setiap hari saya mangkal di teras rumah, mencorat-caret kertas (karna saat itu belum mengenal kanvas), tetapi seringkali saya juga kecewa karena hasilnya tak sebagus yang saya kira, atau tak sebagus orang-orang di media sosial. Hingga akhirnya saya pun berhenti melukis bahkan menggambar sama sekali selama 3 tahun. Ternyata, saat itu bukan orang tua saya yang tidak mendukung, tetapi diri saya sendiri yang sangat cupet.
Semakin ke sini, setiap melukis, saya tidak lagi membandingkan dengan pro-painter di YouTube. Saya juga tidak sekeras itu dalam berekspektasi akan sebagus apa. Sebab, yang terpenting bukan bagus-tidaknya, tetapi apakah saya menikmati apa yang saya lakukan ini? Jika tidak menikmati, maka akan sia-sia saja semuanya.
Selain lukisan, musik menjadi teman saya dalam mengisi kekosongan hari libur. Genre musik saya juga sangat beragam. Tergantung lingkungan dan suasana hati saya. Kalau di kantor Nura, biasanya saya tergantung rekan saya, bahkan saya beberapa kali tercekoki genre musik yang sebelumnya saya belum pernah dengar. Di kantor, saya mengetahui ada lagu dengan lirik: yoo mung sijiii, sesotyakuu... Ah, syahdu sekali. Hahahaha. Kadang juga lagu-lagu dengan lirik sarkasme seperti lagu-lagu .Feast, versi lebih romantisnya ada Hindia. Ada lagi Langgam Suminem dari Mr. Sonjaya yang enak banget coy di telinga, wkwkwk. Tidak lupa juga deretan penyanyi jadul seperti Chrisye dan Iwan Fals (yang ini ga jadul-jadul amat si). Nah, heterogenitas musik di kantor ini akhirnya terbawa sampai 'kamar depan'. Selama melukis, saya sering ditemani oleh Mr. Sonjaya. Kalau lagi menye-menye, saya biasa dengarkan Nadin Amizah dan Banda Neira. Kalau lagi pengen yang semangat tapi masih feminim, saya dengarkan Sigrid atau Taylor Swift (walau liriknya sebenarnya ngenes banget). Kalau hawa-hawa pengin wedding-vibes, ku setel Shania Twain. Kadang juga ditemani Chrisye dengan lagu-lagu yang romantis asyik itu.
Tapi, beda lagi kalau di TBM, saya terpengaruh oleh genre religi yang sering disetel oleh teman saya. Kadang Az Zahir, Cak Fandi, atau Sayyid Haydar bin Muhammad Al Hadar. Muhasabatul Qolbi juga masuk dalam playlist religi saya. Wkwkwk. Paling maknyus itu kalau Mbak Dwi udah sulukan dengan nada 7 oktafnya. Berasa ingin ikutan njerit tapi apalah daya 2 oktaf saja saya sudah megap-megap.
Nah, betapa tiga hal itu menjadi teman dekat saya. Meski dengan segala keterbatasan dan ke-serba-seadanya, tetapi saya menikmati itu. Setidaknya, saya memiliki ruang untuk berekspresi dan menjadi diri saya sendiri seutuhnya. Mungkin nanti, akan ada lagi teman-teman dekat saya yang lain, yang tentunya sama-sama memberikan kebahagiaan bagi diri saya ketika menghadapi kekosongan.
Sekian.
*Ditulis di Kantor Lembaga Kajian Nusantara Raya, UIN Saizu Purwokerto, di hari tenang, menjelang pemilu 2024. Salam lima jari!
Komentar
Posting Komentar