#ShortStory01 menang

inspired by a beautiful album: Nadin Amizah - kalah bertaruh 

and based on true story of my bestie: RA.

this story is dedicated for you, dear. Hope you read and love this. 

    Sehelai daun melayang diterpa angin, disusul puluhan yang lain. Menyebar mengelilingi seorang gadis yang cantiknya tak dilihat oleh banyak orang. Ia duduk di sebuah kursi panjang di taman dekat Gor Cisarua. Baju hitam panjang membalut tubuhnya, dimahkotai kain panjang berwarna hijau army yang juga menjulur hingga telapak tangan. Separuh wajahnya tertutup cadar, hanya terlihat alis tebalnya dan mata yang sayu. Bercak basah terlihat masih membekas di sekeliling mata. Pandangannya kosong. Di depan kursi panjang yang ia duduki, dua ekor burung tengah berkejar-kejaran. Beberapa saat, burung yang satu lebih memilih untuk terbang bersama burung yang lain. 
    Gadis itu berdecih. Bahkan burung saja turut serta membumbui hari patah hati gadis itu. Ingin rasanya ia kejar kedua burung yang terbang itu lalu ia patahkan semua bulu-bulu yang membantunya terbang. Tapi itu hal yang tidak masuk akal. Dan, lihatlah, ia sedang memikirkan seandainya ada klinik penghilang memori seperti di cerita fiksi Tere Liye, pasti ia akan datangi berapapun harus ia bayar. Setidaknya, satu nama yang sangat ingin ia hapus dari ingatannya, sekaligus kenangan yang pernah ia lakukan bersama. Dadanya sesak sebab tangannya usil kembali membuka ponsel dan masih terpampang sebuah undangan pernikahan yang tertulis nama Fatma di kolom nama penerima. Ada sepasang nama tertulis indah di halaman kedua undangan itu, Syahid dan Qonita. Dan, begitulah semesta berlaku pada manusia-manusia berhati lugu dengan kadar suuzon mendekati nol seperti Fatma. Laki-laki berselimut kesalehan dan dengan segala kesempurnaan yang terlihat, berhasil membawa Fatma menuju sebuah keseriusan yang semu, lalu berakhir bukan dengan senyum manis melainkan perpisahan yang tragis.  
    Sekitar dua tahun yang lalu, Fatma mengenal Syahid sejak ia pertama kali menginjakkan kaki di salah satu pesantren mahasiswa di Bandung. Fatma adalah mahasiswa baru di jurusan Psikologi, perantau dari Bogor. Sementara itu, Syahid adalah mahasiswa semester 5 di jurusan yang sama dengan Fatma, dengan kata lain Syahid adalah kakak tingkat dua tahun di atas Fatma. Semua berawal dari Fatma yang saat itu kesulitan mengeluarkan motor dari parkiran motor pesantren, lalu Syahid yang tidak sengaja sedang lewat parkiran, membantu Fatma. Mereka tidak saling kenal saat itu, karena Fatma masih berstatus sebagai santriah baru. Tapi Fatma mengerti bahwa Syahid santri di pesantren yang sama dengannya sebab sebelumnya pernah melihat Syahid di rutinan malam Jumat pesantren dan Syahid saat itu menjadi pembicara. Kegiatan jurusan pada saat itu sangat padat bagi mahasiswa baru dan ternyata Syahid menjadi salah satu mentor Fatma di sebuah acara Gathering. Dari sanalah mereka kemudian berkenalan, bercakap, lalu akhirnya mengetahui bahwa mereka ada di jurusan dan pesantren yang sama.

"Kalau butuh bantuan, hubungi akang aja, ya, jangan merasa sungkan," ucap Syahid sesaat setelah selesai acara Gathering. Fatma mengangguk. Keduanya berpisah, Fatma mengendarai motornya, sementara Syahid memesan ojek online untuk kembali ke pesantren. 
    Hari demi hari, kehidupan Fatma sebagai mahasiswa dimulai. Memiliki kakak tingkat yang selalu siap membantu kesulitannya adalah sebuah privillege yang tidak semua maba punya. Dan, Fatma punya itu. Fatma beberapa kali kurang mengerti dengan tugas-tugas dari dosen, Syahid selalu dengan sabar menjelaskan baik melalui pesan teks hingga telepon. Menjelang ujian tengah semester, Syahid bahkan memberitahukan berbagai tips dan meminjamkannya buku-buku lawas milik Syahid. 
    Fatma masih selalu berpikir bahwa kebaikkan Syahid semata-mata karena naluri suka membantu yang ada di diri Syahid, bukan karena hal tertentu. Itu selalu Fatma yakinkan dalam dirinya sendiri karna ia paham akan dirinya sebagai perempuan dengan hati yang bekerja lebih banyak daripada logika. Namun, semesta selalu penuh kejutan. Kebaikkan Syahid berlanjut hingga Syahid seringkali mengirim makanan untuk Fatma--yang selanjutnya menjadi santapan seluruh santriwati. Percakapan mereka pun sekarang bukan sekadar perihal tugas dan kegiatan jurusan. Percakapan mereka kini intens dan membahas berbagai hal. 

"Fatma, akang tuh kagum, loh, sama perempuan-perempuan yang bercadar dan menutup auratnya dengan sempurna," ucap Syahid.
"Memangnya kenapa, kang?"
"Keren aja. Di tengah panas nggak kepanasan, shalihah, pandai menjaga diri, dan kalian tetap berpendirian kuat padahal sekarang-sekarang pakaian panjang kalian menjadi sorotan sebab banyak teroris yang memakai identitas dan pakaian serupa."
"Ah, aku, sih, merasa biasa aja, kang. Sebab kita semua sama di mata Allah terlepas dari apa yang kita kenakan. Menurutku, menutup aurat dengan sempurna atau tidak, kerudung panjang atau pendek, perempuan tetap mulia dan terlalu sempit jika penilaian kita kepada perempuan hanya sebatas kain yang dikenakan. Anyway, aku juga normal kok, kadang ngerasa gerah. Dan terkait dengan terorisme yang seringkali menampakkan diri sebagai perempuan bercadar dan semacamnya, ya, itu memang tantangan, sih. Tapi, ya, ngga apa-apa," jelas Fatma panjang lebar.
"Jawabanmu sangat menenangkan, Fatma,"

    Percakapan itu berakhir tengah malam ditutup oleh Fatma yang pamit hendak istirahat, dibumbui kebiasaan baru Syahid yang selalu mengucapkan terima kasih dan ucapan selamat tidur dihiasi emotikon senyum manis. Bagaimana Fatma ketika menerima pesan itu? Tentu saja berusaha tetap stay cool dan menyembunyikan pipinya yang diam-diam sudah merona. 

    Setiap malam minggu, kegiatan santri dan santriah adalah membaca Maulid Diba' di aula madrasah. Mereka berkumpul dalam satu ruangan, hanya dipisahkan oleh kain hijab lebar yang membagi ruangan menjadi dua. Satu untuk santri dan satu lagi untuk santriah. Setelah pembacaan Maulid Diba' selesai, dilanjutkan acara Muhadhoroh. Kebetulan saat itu Syahid kebagian menjadi pembicara lagi, membawakan tema tentang taaruf, khitbah, dan nikah. 

"Saya mengutip dari tulisan Ustadz M Tatam Wijaya, yang mengambil perkataan Az Zuhayli dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid IX halaman 6493. Jadi, kesimpulannya khitbah itu baru sekadar janji pernikahan. Bukan pernikahan. Sebab, pernikahan tak terlaksana kecuali dengan sahnya akad yang sudah maklum. Dengan begitu, laki-laki yang melamar dan perempuan yang dilamar statusnya masih orang lain. Tidak halal bagi si pelamar untuk melihat si perempuan kecuali bagian yang diperbolehkan syariat, yakni wajah dan kedua telapak tangan." jelas Syahid di akhir pembahasan.

    Muhadhoroh selesai sekitar jam sepuluh malam. Biasanya, semua kegiatan pesantren berakhir di jam sepuluh malam, kecuali ada rapat tambahan ketika persiapan acara Peringatan Hari Besar Islam. Malam itu, Fatma dan semua santriah langsung kembali ke asrama dan melakukan kegiatan masing-masing. Fatma tidak mungkin langsung tidur karena baginya masih sore. Ia lalu membuka laptopnya dan nyicil mengerjakan beberapa tugas. Setengah jam kemudian, ponselnya berdering, panggilan masuk dari Syahid. Fatma diam sejenak, tidak langsung mengangkat, beberapa detik akhirnya ia terima. 

"Assalamualaikum, Fatma," Syahid membuka percakapan.
"Waalaikumussalaam, Kang," 
"Akang ganggu Fatma nggak?" 
"Engga apa-apa, Kang. Aku lagi ngerjain tugas tapi udah mau selesai, kok." Fatma sedikit berbohong di sini, sebenarnya tugasnya masih seabrek. Tapi, yah, namanya juga anak muda. Ia juga merasa tidak enak apabila mengatakan dirinya sedang sibuk. Satu lagi ciri khas Fatma adalah 'nggak enakan'.  Bahasan mereka kali ini mulai dari resep-resep masakan, mengenang masa kecil, sejarah Indonesia, hingga macam-macam teori konspirasi. Topik terakhirnya adalah tentang jodoh dan ciri-ciri pasangan ideal Syahid, pada saat itu. 

"Memangnya akang udah punya calon apa? Kok udah bahas khitbah-khitbah, sih," tanya Fatma iseng disertai gelak tawa. 
"Bukan calon, sih, tapi Akang suka sama salah satu perempuan,"
"Wah wah wah, seorang Kang Syahid lagi naksir, nih. Kasih tau, dong, Kang, klu nya. Siapa tahu aku bisa bantuin, nih," Fatma mengatakan itu tapi entah ada apa dengan sudut hatinya yang tiba-tiba mulai merasa sesak. 
"Dari sisi kepribadian, dia adalah sosok yang dewasa, cerdas, penyabar, dan selalu terlihat riang. Dia juga punya sopan santun yang baik,"
"Masyaa Allah," ucap Fatma.
"Akang ketemu pertama kali pas dia kesulitan ngeluarin motor di parkiran pesantren,"
"Wait, jadi perempuan itu santriah sini, Kang?" Fatma sedikit terkejut, lalu mengecilkan suaranya sebab sudah tengah malam.
"Iya.." 
"Siapa tuh, Kang? Aku jadi penasaran banget hahaha," Fatma tergelak lagi, dengan kondisi perasaan yang tidak karuan, seperti sesak dan ada sedikit cemburu tanpa tahu sebabnya. Semesta sudah tahu bahwa Fatma sebenarnya menyukai laki-laki itu, hanya saja Fatma belum menyadari. Hingga akhirnya...

"Perempuan itu suka memakai cadar kemana-mana, dan saat ini Akang lagi ngobrol sama dia,"
Voila!
Fatma terdiam lama, ingin rasanya menepuk-nepuk dan mencubit-cubit pipinya. Ia cepat-cepat sadar dan berpikir jernih.
"Maksud Akang...."
"Iya, perempuan itu adalah kamu, Fatma,"

    Dan, begitulah Syahid mengungkapkan perasaannya kepada gadis itu. Fatma mempercayai Syahid sepenuhnya, sebab ia pun memiliki perasaan yang sama. Tidak hanya itu, dilain hari, Syahid mengajak Fatma bertemu dengan ibunya dan mendapat respon yang baik, sehingga membuat Fatma semakin yakin bahwa Syahid tidak mungkin main-main bahkan menghianatinya. Syahid juga mengungkapkan keseriusannya, menjanjikan akan melangkah ke jenjang berikutnya secepatnya setelah ia selesai studi. 
    Waktu bergerak begitu cepat. Setahun telah terlewati sejak malam itu. Rangkaian kejadian menyenangkan selalu mengiringi mereka berdua. Seolah dunia benar-benar tengah mendukung dan berpihak. Setiap Fatma kesulitan, Syahid selalu membantu. Ketika Fatma sedih, Syahid selalu menyalurkan semangat dan menghibur Fatma. Syahid sudah seperti motivator dan mental health educator pribadi Fatma. Fatma sungguh merasa berharga dan tidak pernah sendirian. 
      Di suatu sore, Fatma sedang mempersiapkan talaran Kitab Sulamunnajat untuk setoran malam Kamis. Ia mendapat sebuah paket padahal ia tidak merasa memesan apapun. Isinya antara lain sebuah boneka, dan buku-buku bacaan. Di sana terselip secarik surat ala-ala anak muda. Fatma membawa paket itu ke dalam kamarnya, tersipu malu membaca surat yang tak lain adalah dari Syahid. 
        Di lain hari, Syahid mengembalikan jas almamater milik Fatma yang dipinjam untuk sebuah acara, dengan coklat yang dililit pita dan makin menambah kesan romantis, ada di dalam saku jas tersebut. Pipi Fatma kembali memerah seperti kepiting rebus. Tidak berhenti di situ, di hari Minggu ketika Fatma sedang melaksanakan piket harian, Fatma tiba-tiba mendapat panggilan dari Syahid yang dititipkan kepada santriah lain. Fatma buru-buru turun ke bawah, tergesa-gesa memakai kaos kaki yang tanpa Fatma sadari ternyata berbeda warna, untuk menemui Syahid di lorong batas asrama putri dan asrama putra. Syahid menyodorkan sekotak berisi pizza untuk Fatma. 

"Kamu nggak salah pakai kaos kaki hitam sama pink?" celetuk Syahid diserai cekikikan. Fatma menatap ke bawah dan langsung menyeringai di balik cadarnya. Fatma sangat senang, meskipun sesampainya di asrama putri, pizza pemberian Syahid menjadi 'milik umum'. 

        Fatma tergolong mahasiswa yang pasif di dalam organisasi kampus, tetapi aktif di luar kampus. Belum genap dua tahun Fatma kuliah, ia sudah bergabung di tiga organisasi sosial dan menjadi volunteer di berbagai daerah terpencil. Suatu malam, karena saking sibuknya ia mempersiapkan keberangkatan ke Bintan, Fatma kewalahan mengerjakan tugas-tugas kuliah. Sudah pukul delapan malam ia masih berada di kost teman sekelasnya untuk meminta bantuan. Syahid yang mengetahui itu tentu tidak tinggal diam. Syahid lalu meminta soal-soal tugas Fatma yang belum rampung dikerjakan. 

"Ini, sudah semua. Sekarang, Fatma pulang, ya, ke pesantren. Hati-hati," ucap Syahid di pesan teks. Wajah Fatma berubah sumringah. Ia lalu pulang dengan tugas-tugas yang telah selesai atas bantuan Syahid. Lengkap sudah kebahagiaan Fatma sejak Syahid ada disekitarnya. 

        Hari ketika Fatma berangkat ke Bintan tiba. Ia akan berada di sana selama tiga bulan. Segala persiapan telah selesai. Fatma berangkat dengan amat gembira, tentu karena Syahid turut serta mengantar Fatma ke tempat berkumpulnya para volunteer di Gedung Asia Afrika. 

"Hati-hati, jangan tinggalin sholat dan baca Quran walau satu ayat," pesan Syahid kepada Fatma yang kemudian dibalas anggukan ceria. Fatma melambaikan tangan dan tiga bulan mereka berpisah cukup jauh dan lama, Bandung-Bintan.
        Kegiatan Fatma di Bintan cukup padat. Bintan adalah salah satu daerah yang kekurangan tenaga pendidik. Fasilitas bangunan untuk sekolah tersedia, namun guru tidak ada. Jadi, di sana, tugas utama dan tujuan kegiatan itu adalah untuk memajukan pendidikan di sana, mulai dari mata pelajaran umum hingga keagamaan. Dua bulan sejak keberangkatan, terhitung hanya empat kali Fatma berkomunikasi dengan Syahid karena memang terkendala oleh jaringan. Fatma harus bangun tengah malam untuk bisa mendapat jaringan yang cukup bagus. Saat itu, fatma benar-benar tidak merasakan ada perbedaan dari Syahid. Meskipun komunikasi jarang, tetapi ia merasa baik-baik saja. 
      Sepulang dari Bintan, Fatma mendapat kabar bahwa Syahid sedang pulang ke rumahnya di Cirebon, tidak berada di pesantren, sehingga di hari Fatma pulang ke Bandung, Syahid tidak dapat menyambutnya. Fatma buru-buru mengabari Syahid bahwa ia sudah di Bandung. 

Kang, Fatma sudah di Bandung. Akang katanya lagi di kampung, ya?

Namun, pesan yang di kirim Fatma tidak mendapat jawaban, padahal centang biru sudah terlihat. Fatma masih berpikir positif, mungkin Syahid sedang banyak urusan di rumah. Hingga seminggu, pesan Fatma masih hening tak ada jawaban bahkan setelah Fatma mengirim pesan lain berulang-ulang. Hanya di baca, tanpa di balas. 

Kang, apa kabar? Kapan balik ke Bandung?
Kang Syahid lagi banyak urusan, ya? sampai nggak sempat membalas pesan Fatma?
Kang, kalau sudah ada waktu, hubungi Fatma, ya. 
Kang Syahid lagi sibuk skripsi, ya? Kalau iya, semoga dilancarkan, ya, Kang.

        Keresahan mulai datang, ketika Fatma mendapat pesan balasan yang sangat panjang sekitar seminggu kemudian sejak terakhir Fatma mengirim pesan. Isinya cukup membuat Fatma sedih dan menangis saat itu. Syahid mengatakan untuk mengakhiri hubungannya dengan Fatma dengan banyak pertimbangan dan alasan yang menurut Fatma cukup logis dan masuk akal.

Akang ingin memperbaikki diri lagi, Fatma. Kita nggak bisa kayak gini terus, karna sama saja berlama-lama dalam maksiat. Kalau sudah waktunya, akang bakal menemui Fatma lagi.

        Fatma cukup mengerti. Meski berat untuk menerima di awal-awal, sebab perasaan kehilangan jelas menggerayangi Fatma setiap waktu. Tapi lambat laun, Fatma mulai mengerti keputusan Syahid, ia juga tetap percaya kepada Syahid bahwa suatu saat mereka akan bersama di waktu yang tepat.

Kepercayaan Fatma mulai diuji ketika ia mendapat pesan dari seorang perempuan tak dikenal. 

Teh, kalau ada yang merasa tersakiti, itu saya, bukan teteh. 

Pesan itu diikuti oleh beberapa fotonya bersama Syahid.

Saya lebih dekat dengan Syahid.

Fatma bukan perempuan yang bisa begitu saja mengabaikan pesan seperti itu, tetapi ia juga tidak langsung mempercayai. Niat Fatma adalah bertabbayyun langsung kepada Syahid, tetapi Syahid justru tersinggung ketika ditanya tentang perempuan itu dan memblokir semua akses komunikasi dengan Fatma. 

Berhari-hari Fatma menangis dan mencoba menghubungi Syahid lewat teman-temannya. Tidak ada respon, semua kembali di blokir tanpa alasan yang jelas.

Manusia, selalu berpikir bahwa dengan mengakhiri kata maka dapat menyelesaikan segala masalah. Egois untuk memutuskan sesuatu secara sepihak. Mengaku berkomitmen tinggi, tetapi sekedar menjelaskan baik-baik pun tak mampu. Entah hati mana yang mereka pikir akan biasa saja ketika diperlakukan dengan semena-mena. Entah bagi mereka perempuan adalah apa, sehingga legal saja bagaimanapun mereka bersikap.

Bukanlah semesta jika tidak dipenuhi dengan kejutan dan berbagai tanda tanya. Satu persatu rahasia yang Fatma tidak tahu, terkuak. Akan sangat menyakitkan dan panjang untuk diucapkan dengan suara.  

"Fatma, baik-baik, ya. Percaya. Kalau kita ditakdirkan, kita akan kembali."
"Jangan pernah ucapkan janji yang tidak akan pernah bisa ditepati, Kang."
"Terima kasih atas waktunya, Fatma."
"Akang nggak merasa yang akang lakuin ke Fatma itu sangat kejam?"
"Semua adalah skenario Tuhan, Fatma."

Syahid baru membuka blokir Fatma enam bulan kemudian. Pesan terakhir Syahid setelah ia membuka akses pesan kepada Fatma adalah ucapan terima kasih. Permohonan maaf yang di harapkan Fatma hanyalah harapan belaka. Pada kenyataannya, perempuan yang cerewet meminta penjelasan adalah salah di mata laki-laki yang lebih memilih bungkam membiarkan. Kebohongan selamanya akan menjadi senjata kuat untuk tidak lagi menaruh percaya. Kalimat Syahid saat itu adalah satu dari contoh kalimat yang amat bias. Karena lihatlah apa yang Fatma terima hari ini, tepat di akhir tahun 2020. Sebuah undangan pernikahan. Bukan datang untuk kembali memperbaikki, melainkan menambah luka yang belum sempat terobati.

Fatma sakit, Fatma tidak bisa menerima, Fatma belum mampu memaafkan. Ia memutuskan untuk mengabaikan undangan yang ia terima. Seperti tarian yang tak kunjung selesai, seperti itulah dunia Fatma saat ini. Enggan berhenti bergerak, mencari-cari dirinya sendiri yang entah sejak kapan hilang. 

Tapi itu, adalah Fatma di hari ini. Ia masih duduk di taman Gor Cisarua, terdiam menikmati sesak. Perlahan matahari berpindah tempat. Beberapa pesan masuk tidak Fatma hiraukan. Ia menduga pasti banyak teman-teman yang mempertanyakan mengapa bukan nama Fatma yang bersanding dengna nama Syahid. 

Gadis itu beranjak. Berjalan menuju masjid dekat Gor. Hatinya masih belum baik-baik saja, tetapi sekiranya maghrib mampu menenangkan. Di akhir sembahyang setelah salam, ia sempatkan untuk bersujud lagi. Meruntuhkan sakitnya, menyampaikannya kepada bumi untuk bisa disampaikan kepada langit. Tuhan sedang menatapnya penuh kasih sayang. Amat benar ketika hati manusia sedang patah, adalah dahi yang menyatu dengan bumi penyembuhnya. 

Fatma bukan perempuan terkuat tapi ia satu dari perempuan hebat. Di masa depan, Fatma telah mencapai ikhlas, dan memaafkan segala masa lalunya. Waktu adalah obat terbaik untuk Fatma berdamai dengan keadaan. Semesta pun tidak melulu memberikan kejutan yang buruk. Seringkali kejutan baik datang di hidup Fatma, yang pada akhirnya membuat Fatma percaya bahwa yang patah tumbuh, yang hilang berganti. 

Dan, selesai. 
Fatma memang kalah bertaruh dengan semesta. 
Tetapi ia menang atas ikhlas dan memaafkan. 






Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer