#Rekap2020 Satu Tahun Ini

Januari 2020
Aku pikir Januari adalah awal yang cukup baik. Semesta mengajakku berkeliling kota asing jauh di luar pulau Jawa, seorang diri. Melangkah mencari tawa yang dirasa telah nyaris habis, dan memayungi diri dari rasa takut yang mulai menggerimis. 

Iya, aku pikir januari adalah awal yang baik. Sampai akhirnya aku tahu, Januari adalah awal dari diriku yang melarikan diri atas beberapa kekecewaan. Harapan yang patah, kabar kepergian yang baru aku ketahui setelah dia pergi, dan hal-hal yang berakhir sebelum selesai. 

Februari 2020
Kepulanganku bukan ke kampung halaman, melainkan Bandung yang saat itu menjadi tempat kedua yang aku jadikan rumah. Ketidak pastian dan keraguan mulai berdatangan bertamu, menjadi kawan akrab di setiap malam, pengiring jeda antara dunia nyata dan pejaman mata. Rasa takut akan Masa depan semakin memenuhi kepala. Belum lagi putus asa yang sudah mengetuk pintu. Tapi setidaknya, bertahan masih menjadi pilihan yang mau tidak mau aku raup, saat itu.

Maret 2020
Maret mengajarkan satu hal penting, bahwa kita tidak pernah bisa tahu tentang besok. Besok adalah sesuatu yang paling misterius, sekaligus penuh dengan kejutan. 
"oke, kita foto bareng besok aja, masih ada waktu, kok."  
Kalimat ini menjadi kalimat paling diingat olehku. Karena sehari setelah aku mendengar kalimat itu, dunia tiba-tiba menutup semua akses untuk bertemu. Dan hingga detik aku menuliskan ini, aku dan mereka belum pernah mengambil satu jepretan pun. Di bulan ini juga, akhirnya menjadi bulan yang memaksa aku untuk menjatuhkan pilihan pada satu hal yang amat aku hindari sebelumnya: pulang. 

April 2020
Akhirnya aku membuka gagang pintu rumah yang sudah enam bulan tidak aku pegang. Seperti yang aku pikirkan sebelumnya, pasti banyak kejutan. Kejutan buruk tentunya. Benar saja. Jika harus memilih satu kata yang tepat untuk menggambarkan aku saat itu, aku hanya bisa mengatakan: runtuh. Memang, sejak satu tahun sebelumnya, orang yang menjadi 'rumah' bagiku, telah pergi dari dunia ini. Dan sejak saat itu pula, duniaku tidak pernah baik-baik saja. Kalau bagi sebagian orang akhir dari perjalanan jauh adalah untuk pulang, maka aku adalah manusia yang dipaksa pergi tanpa punya tempat untuk kembali. Hanya itu yang aku pikirkan sepanjang bulan April. 

Mei 2020
Tawa selalu menggema sebagai tameng atas pertanyaan-pertanyaan orang. Aku semakin mencari siapa yang pantas untuk disalahkan atas apa yang terjadi. Meskipun akhirnya aku tidak menemukan jawabannya selain siapa yang aku lihat di dalam cermin. hari-hariku terlalu pengap sekalipun aku berdiri di tanah lapang. Bulan suci dan hari raya terlalui dengan tatapan kosong dan hambar. tidak ada keistimewaan. dan, tangis menggigis di depan sebuah pusara. aku berusaha menyampaikan kalimat demi kalimat tanpa suara. "mah, baik-baik di sana ya. Aku tidak baik-baik saja di sini, tapi semesta masih mau aku bernafas dan berjalan terus, mah. jadi aku belum bisa nemenin mamah."   Setidaknya begitu.

Juni 2020
Puncak dari kemarahan aku terjadi di bulan ini, semua kontak orang-orang aku hilangkan. Berhari-hari aku tidak berbicara dengan siapapun bahkan ayahku sendiri. Kamar menjadi tempat favorit untuk menghakimi diri sendiri.
Kepingan-kepingan yang telah runtuh itu aku pandangi dengan nanar. Tampak mustahil untuk aku bisa tempel dan aku susun kembali. Terlalu kecil bagian-bagiannya dan aku tidak tahu harus memulai dari mana. Di tengah kebingungan itu, aku memutuskan untuk berhenti kuliah, dan menyerah di tengah jalan. Aku tahu, orang lain banyak yang bisa bertahan dalam keadaan apapun. Masalah biaya, mental, kesehatan, dan lain sebagainya, aku tahu banyak yang mampu melewati. Tapi bukan aku salah satunya. Juni, jalan lain mulai aku ciptakan dengan kesadaran pasti akan lebih berat tantangannya. Aku berusaha bertahan. Masih dan selalu. 

Juli 2020
Masih dengan malam yang berat dan pagi yang lelah, aku tetap berjalan. Suara-suara yang berasal dari mulut orang tidak bisa aku bungkam. Aku hanya mampu menutup rapat-rapat telingaku dari kalimat yang membuat diri aku lebih sakit. Dan, berjalan seperti biasa seolah tidak merasakan apa-apa tetap aku lakukan.

Juli, semesta membawaku kepada suasana baru penuh dengan anak kecil. Polos. Tanpa beban. Tertawa terbahak-bahak tanpa rasa cemas. Dan di depan mereka, aku kelelahan. Lelah harus ikut tertawa padahal tidak ingin. Lelah harus cerita semenarik mungkin padahal ceritaku sendiri aku benci. Lelah harus mendengar celotehan mereka yang seringkali tidak masuk akal. Awalnya, hanya itu yang aku dapat. Dan itu semua aku lewati dengan pikiran "yang penting hari ini selesai."

Agustus 2020
Suasana yang sama. Tetapi aku seolah semakin membutuhkan rengkuhan. Aku menjadi sangat mudah menangis tanpa sebab. Penilaianku terhadap diriku sendiri semakin buruk. Bertemu dengan orang-orang selalu membuatku berujung di malam hari dengan penuh prasangka. "kayaknya orang2 benci aku." atau "kenapa ya aku nggak bisa kayak mereka." dan "siapa yang bisa tahan dengan aku yang seburuk ini?" Banyak sekali mengapa dan bagaimana yang berkeliaran di dalam kepala. Dan aku tidak pernah benar-benar mengerti jawabannya kecuali berujung dengan menangis sendirian lagi dan lagi. Ya Tuhan, aku lelah. 

Katanya, jangan memendam semuanya sendirian. Berbagilah, salah satunya dengan bercerita. Tapi, yang aku dapat setelah berbagi cerita adalah penghakiman yang semakin membawaku pada rasa bersalah dan rasa benci pada diri sendiri. Kalimat-kalimat yang aku dapatkan antara lain, "kok bisa sih kamu benci pada diri sendiri?" , "udahlah ngga usah terlalu di pikirin.", "kamu itu ngga pantes buat siapa-siapa, kalaupun ada yang mau sama kamu itu karena dia ngga punya pilihan aja." , "kasian orang-orang di sekitarmu yang ikut terpengaruh pikiran burukmu." 
Baiklah, sejak itu aku diam. 

September 2020
Lelahku di bulan ini sampai pada tahap tidak mau lagi menangis. Aku mewarnai rambutku berkali-kali dan juga memotongnya. Bukan untuk konsumi publik, melainkan hanya diriku sendiri yang bisa melihatnya. Entah kenapa selama 20 tahun baru kali ini aku berfikir untuk mengubah sesuatu yang ada di fisikku. Dan aku cukup senang.  
Aku mulai mengikuti beberapa sesi meditasi di platform konsultasi kesehatan mental secara online. Sebab untuk datang langsung aku belum mampu. Setidaknya ini membantuku ketika kepalaku terasa sangat penuh. 
Aktivitasku masih seperti biasanya. Bertemu dengan anak-anak, ngobrol bersama mereka, berbagi hal-hal konyol dan tidak masuk akal, dan banyak lagi. Lelahku berubah menjadi butuh. Aku butuh mereka.  Aku mulai bertanya-tanya mengapa Tuhan membawaku ke mereka. Apa tujuannya? 

Oktober 2020
Oktober menghadirkan orang-orang baru yang membuatku menyadari bahwa aku sangat butuh rekan bicara. Orang-orang itu tidak pernah menghakimi aku, mereka menerima burukku, dan merengkuh segala sakitku. Mereka juga mampu menarikku dari lubang hitam yang selama ini aku tinggali berbulan-bulan. Salah satu nama dari orang-orang baru itu, mungkin pada akhirnya akan aku tetapkan sebagai satu-satunya nama yang bisa menghuni sudut kecil diriku yang dingin. Nama itu yang selalu memberikan aku keyakinan segalanya akan baik-baik saja, melalui satu kata yang tidak pernah aku katakan pada diriku sendiri: tidak apa-apa. 

November 2020
Aku menemukan beberapa orang berkata bahwa tahun ini tidak terasa sudah mencapai penghujung. Tentu, aku sangat iri dengan orang-orang yang berfikir demikian, jujur. Sebab tiap detik yang aku lalui di tahun ini terasa sangat lambat. Tapi, tidak apa-apa. 
Di bulan ini aku mengerti jalan setiap orang berbeda-beda. Ada yang dari awal sudah Tuhan buatkan rata dan lurus, ada yang berkelok, ada yang penuh dengan batuan, ada yang naik turun, bahkan ada yang buntu dan dipaksa untuk mencari jalan lain. Tapi aku yakin, suatu hari semua jalan itu akan mengantarkan pada tahap "sampai"nya masing-masing. Aku hanya perlu berjalan terus. Kalau lelah, aku berhak beristirahat. Lalu melanjutkan lagi. Memang, aku sempat beberapa kali berfikir untuk menyerah pada hidup dan hampir melakukan hal yang sangat tidak diizinkan oleh Tuhan. Tapi aku bersyukur selalu disadarkan, bahwa ketika aku mengakhiri hidupku sendiri, bisajadi kematian sesungguhnya akan ada pada benak orang-orang di sekelilingku, bukan pada diriku. Bahkan mungkin setelah aku mati, aku akan lebih menderita di dunia sana. Ah, aku bersyukur masih bisa bertemu denganmu, November.


Desember 2020
Tiga hari lagi, 2020 berakhir. Tahun dimana banyak sekali kehilangan, kesedihan, dan kejutan lain yang menimpa dunia. Tapi, sesuatu yang hilang pasti selalu ada gantinya. Kesedihan akan berlalu dan diikuti bahagia. Kejutan yang hadir pun tidak hanya kejutan buruk tapi juga kejutan baik. Bagiku, 2020 adalah tahun dengan segala cerita tentang pencarian dan perubahan. Dan aku menemukan bahwa Tuhan telah mengajarkan aku sabar, kuat, dan tenang melalui banyak hal. Anak-anak kecil yang aku anggap melelahkan, sering tidak masuk akal, akhirnya menjadi salah satu yang aku butuhkan setiap hari. Aku jadi mengerti kadang ada beberapa hal yang hanya perlu ditertawai, dilupakan sejenak, lalu lewati dengan keyakinan akan selesai dengan baik. Kemudian, ikhlas adalah kata yang sangat sering aku dapatkan dari orang lain ketika aku terpuruk, tapi ia tidak akan benar-benar ada di hati aku sebelum aku yang menemukannya sendiri.

Rasa sakit, tangis, tawa, kegagalan, kesalahan, pulang, dan pergi. Semua memiliki cerita masing-masing. Bertahan adalah pilihan terbaik untuk bisa mendapatkan hal berharga dari apa saja yang telah berubah. 

Aku tahu, ini sulit. 

Hari besok masih menjadi misteri besar. Tapi aku bisa memilih untuk memikirkan "besok akan baik-baik saja" atau "besok akan terjadi hal buruk".

Berfikir besok akan baik-baik saja bukanlah suatu optimisme yang berlebihan, bukan juga ekspetasi yang terlalu tinggi. Tapi untuk melatih prasangka yang baik. Karena prasangka yang buruk seringkali menjadi racun permanen di dalam otakku sehingga aku tidak mampu berbuat apa-apa. Ketakutan dan kecemasan memang tidak akan bisa lenyap dari diri aku. Tapi aku bisa mengendalikan mereka. Harus bisa.  

Akhir dari 2020 bukanlah ending dari sebuah film. Jadi, aku akan persiapkan diri untuk berjumpa dengan waktu berikutnya. Terus berlari, mendarah di setiap keadaan, dan menang atas diri kita sendiri. Menjadi kuat adalah pilihan terbaik untuk hidup di dunia. Dan sudah semestinya ketika di hadapan Tuhan, manusia harus menjadi makhluk yang lemah. Aku bersamamu, dan Tuhan selalu bersama kita.

Tenangkan hati, semua ini bukan salahmu
Jangan berhenti, yang kau takutkan takkan terjadi
Yang dicari hilang, yang dikejar lari
Yang ditunggu, yang diharap
Biarkanlah semesta bekerja, untukmu.
-Kunto Aji, Rehat-

Komentar

Postingan Populer